- Back to Home »
- PSIKOLOGI »
- Menemukan Kehidupan
“The optimist sees the rose and not
its thorns,
the pessimist stares at the thorns, oblivious to the rose”
~ Kahlil Gibran ~
the pessimist stares at the thorns, oblivious to the rose”
~ Kahlil Gibran ~
Sebenarnya,
orang-orang yang tidak percaya bahwa ada kehidupan setelah mati adalah orang-orang
yang pesimis. Karena orang-orang ini secara tidak langsung percaya bahwa tidak
ada yang disebut kelestarian atau keberlangsungan hidup. Dengan kata lain,
mereka benar-benar tidak memiliki harapan yang baik di masa mendatang.
Sementara
itu ada juga orang yang bersikap terlalu optimis. Mereka berpikir bahwa tak
jadi soal apakah benar atau tidak, keberadaan alam akhirat itu, sebaiknya kita
percaya saja. Namun yang paling menyedihkan dari kesemuanya itu adalah apabila
seseorang berpikir bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian.
Mungkin
saja banyak alasan yang mendukung kepercayaannya, tetapi kepercayaan seperti
itu jelas lebih buruk dari kematian.
Kahlil
Gibran mengatakan, ”Seorang optimis melihat bunga mawar, bukan duri-durinya.
Sementara seorang pesimis menatap duri-duri dan mengabaikan bunga mawar”
Jika
kita melihat perkembangan ilmu genetika yang sudah sedemikian pesat, seperti
cloning misalnya, hal ini merupakan sebuah gambaran yang sangat gamblang akan
mungkinnya seseorang dibangkitkan kembali seperti semula.
Banyak
orang yang bahkan berharap melalui beragam fenomena ingin memperoleh bukti
tentang keberadaan kehidupan alam akhirat, namun anehnya, mereka menemukan 99 %
kekecewaan.
Sekali lagi, hal ini disebabkan oleh sudut pandang yang pesismistis.
HANYA
KEHIDUPAN, BUKAN YANG SELAINNYA
Abraham Maslow mengatakan,”Pahamilah berbagai pengalaman batin, pengalaman subyektif, pengalaman lisan, sehingga pengalaman-pengalaman ini dapat diwujudkan dalam dunia abstraksi, dunia percakapan, dunia sebutan, dst.
Abraham Maslow mengatakan,”Pahamilah berbagai pengalaman batin, pengalaman subyektif, pengalaman lisan, sehingga pengalaman-pengalaman ini dapat diwujudkan dalam dunia abstraksi, dunia percakapan, dunia sebutan, dst.
Yang
konsekwensinya dengan segera memberi kemungkinan untuk mengontrol proses bawah
sadar dan proses yang tak dapat dikendalikan.”
Salah
satu gagasan terpenting kaum Arif adalah bahwa kehidupan itu adalah hidup itu
sendiri sementara kematian adalah kematian itu sendiri. Atau dengan kata lain,
untuk kehidupan tidak akan pernah ada kematian dan untuk kematian tidak akan
pernah ada kehidupan.
Untuk
mempelajari filsafat dan metafisika, keduanya mesti melalui kehidupan ini,
sehingga siapa pun dapat membuktikan bahwa hidup itu berkelanjutan. Oleh
karenanya kaum Arif mempraktekkan proses yang dengannya ia sanggup menyentuh
bagian kehidupan itu di dalam diri mereka sendiri sehingga mereka terlepas dari
pengaruh kematian.
Dan
dengan menemukan bagian kehidupan ini, kaum Arif secara alamiah mulai merasakan
kepastian hidup. Hal ini juga yang membuat mereka makin meyakini akan hidup itu
sendiri ketimbang apa pun di dunia ini. Karena lewat kehidupan itulah mereka
mampu melihat esensi perubahan dan keterbatasan segala sesuatu.
Mereka
benar-benar meyakini bahwa segala sesuatu yang dibangun pasti akan rusak,
segala sesuatu yang disusun pasti akan runtuh dan segala yang dilahirkan pasti
akan mati.
Di
dalam penemuan atas realitas kehidupan ini akhirnya mereka menemukan diri
mereka sendiri dan itulah kehidupan yang sesungguhnya, sehingga pada akhirnya
segala sesuatu yang mereka ketahui selain kehidupan itu sendiri mulai mereka
rasakan tak lagi bermakna.
MENEMUKAN
KEHIDUPAN DI DALAM DIRI SENDIRI
Dengan jalan apa seseorang menemukan kehidupan di dalam dirinya, dimana ia sendiri tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mengalami kematian? Apakah dengan menganalisa diri?
Dengan jalan apa seseorang menemukan kehidupan di dalam dirinya, dimana ia sendiri tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mengalami kematian? Apakah dengan menganalisa diri?
Akan
tetapi bukankah analisa diri menurut ajaran para mistikus berarti memahami
sarana raga ini untuk kita dimana kita berdiri dengannya?
Lalu
apa yang kita sebut pikiran, dan terdiri dari apakah pikiran itu?
Dengan
bertanya kepada diri kita sendiri, ‘Apakah aku ini adalah tubuhku ini,
ataukah aku ini hanya berupa pikiranku semata?’
Di
lain waktu seseorang bisa saja melihat bahwa dirinya adalah orang yang mengenal
raganya dan pikirannya, akan tetapi hanya bila ia dapat memegang raga dan
pikirannya seperti memegang dua buah pelampung, yang membuatnya terapung di
atas air.
Demikian
juga ketika raga berada di dalam posisi kritis, maka pikiran menjadi juru
selamat dari bahaya tenggelam dalam telaga kematian.