Suara gitar terus saja mengalun merdu di ruang tamu,. Rara memainkan lentik jari-jari manisnya: menekan, memetik, dan sesekali menggesek senar gitar. Sudah setengah hari ia tak berhenti memegang gitar kesayangnnya itu. Bukan karena ia ingin membuat lagu, tapi karena tak ada kegiatan lain yang dapat ia lakukan di hari minggu ini. Baginya hari minggu ini begitu membosankan. Sendirian di ruamah, tak ada makanan tersisa, dan tak ada teman yang mampir ke rumahnya. Hatinya begitu kesal.

Sebenarnya sudah dari tadi pagi ia menunggu kedatangan Rafa – temen cowoknya dari kecil sampai SMA sekarang –. Hampir setiap minggu pagi Rafa datang ke rumah Rara. Tapi entah kenapa sampai tengah siang begini Rafa tak juga datang.

“Ning! Nong!...” bel rumah berbunyi. Rara bergegas beranjak dari tempat duduknya dan menggeletakkan gitarnya begitu saja di atas sofa. Ia lari terbirit-borot menuju pintu depan.

Rara membuka pintu dengan cepat,”Rafa, ko jam segini baru…” kata-kata Rara terhenti ketika yang ia lihat bukanlah Rafa melainkan cewek asing yang tak ia kenal.

“Siang…” sapa cewek yang berhadapan dengan Rara. Rara mengira kalau cewek itu sebaya dengannya.

“Siapa ya?” Tanya Rara penuh penasaran.

“Tetangga baru,” jawab cewek itu.

“Oh iya! Tetangga samping yang kemaren malem baru dateng?”

Cewek itu mengangguk,”Kenalin aku Rena.” Rena mengulurkan tangannya.

Rara membalas uluran tangan Rena,”Aku Rara. Mirip ya nama kita?”

Rena senyum kecil,”Ini aku mau ngasih bingkisan. Dan jangan lupa nanti malem dating kerumah!”

Rara memandangi bingkisan buah yang ia terima,”Syukuran rumah baru ya?”

“Iya…” jawab Rena,”udah dulu ya. Aku buru-buru, mau ngundang tetangga lain.”

“Makasih bingkisannya.” Tukas Rara.

Rena melangkahkan kakinya. Sampai di depan gerbang rumah, ia bertemu dengan Rafa. Mereka bertatapan saling curiga. Maklum, mereka berdua baru pertama kali bertemu.

“Tumben jam segini baru dateng?” Tanya Rara yang melihat Rafa mendekat.

Rara dan Rafa masuk ke rumah. Lalu mereka berdua duduk di sofa.

“Sori ya telat. Tadi pagi abis main futsal. Tapi sayangnya kalah.”

“Ah payah! Tuh liat padahal aku udah siapin cappucinno kesukaanmu.” Udah dingin deh jadinya.” Ujar Rara sedikit kesal.

“Oke aku minum deh.” Rafa mengambil cangkir berisi cappucinno dari meja lalu meminumnya sidikit.

”Niatnya juga gak mau ikutan, temen-temen tadi nyamperin ke ruamah. Jadi terpaksa deh” Jelas Rafa.”Eh cewek tadi itu siapa? Temen baru?” tambah Rafa.

“Tetangga baru, paling sebentar lagi bakal jadi temen baru kita.”

“Berarti tetangga aku juga dong! Ko aku gak tau?”

“Dia baru dateng kemaren malem. Makanya kalau tidur jangan sore-sore!”

“Ko sinis gitu sih? Waaah cemburu ya kalau aku nanyain dia?”

Rara tersentak.

“Ngomong apa sih.” Rara berusaha menyembunyikan kegugupannya.”Ktanya hari ini mau latian gitar?” alih Rara.

“Iya deh guruku cantik…!” Canda rafa yang membuat Rara tersipu.

***

“Raraaa… berangkat yuuk!” teriak Rafa dari depan pintu gerbang rumah Rara. Ia memakai seragam putih abu-abunya dengan sangan rapi sambil membawa sepeda BMX.

Tak lama, Rara muncul dari pintu rumah dan bergegas menuju Rafa.

“Udah lama ya?”

“Lama banget!” jawan Rafa kesal.

Rara menaiki boncengan. “Ayo dong cepetan jalan!”

Tampaknya Rafa agak kesulitan menjalankan sepeda.

“Kenapa?” Tanya Rara.

“Kayaknya bannya bocor deh.”

“Ya ampun Rafaaa. Ko bisa? Ini udah jam berapa? Bisa-bisa kita dihukum karena telat”

“Yaaa mana aku tau bakal bigini. Ah sepeda sialan!”

“Kurang sepuluh menit gila! Mana gak ada angkot lewat.”

Mereka berdua sangat panic dan juga sangat takut kalau nanti telat masuk dan dihukum oleh kepala sekolah yang terkenal super galak.

Tiba-tiba ada mobil berwarna silver yang berhenti disamping mereka.  Jendela mobil bagian samping depan terbuka. Ternyata ada Rena didalamnya.

“Kalian ikut aku aja yuk!” tawar Reana sambil tersenyum ramah.

Rafa dan Rara canggung menjawabnya. Jelas mereka canggung! Mereka berdua kan belum kenal dekat dengan Rena.

“Jangan piker-pikir. Ini udah mau jam tujuh loih!” rayu Rena.

“Iya deh.” Jawab Rara. Ia menarik tangan kanan Rafa kencang agar Rafa mengikutinya masuk mobil.

“Pak, jalan yang cepet ya!” Suruh Rena pada sopir.

Mereka semua diam. Rara dan Rafa saling bersikut-sikutan. Itu adalah pertanda bahwa mereka ingin satu diantaranya dapat berbicara lebih dahulu.

“Ren, mau daftar di SMA Cempaka ya?” Akhirnya Rara mnemecah keheningan.

“Iya, kalian sekolah disana kan?”

“Tentu.” Jawab rara sekenanya. ”Oh iya Ren, kenalin ini Rafa.”

“Salam… Kenal.. Re..na” Ucap Rafa terbata-bata. Ia sangat canggung.

Rena menengok kebelakang,”Salam kenal juga Raf.”

Rafa tersenyum lepas. Kecanggungnnya mulai berkurang.

***
Ayunan putih mengayun di halaman belakang rumah Rara. Rara dan Rafa duduk berdua di ayunan yang cukup panjang itu. Dinginnya angin malam berhembus pelan menerpa mereka berdua. Heningnya malam dipecahkan dengan alunan petikan gitar yang dimainkan jari lentik Rara. Sementara rafa mendengarkannya penuh hikmat dan sesekali bernyanyi.

“Ra, kelasnya Rena itu kan disebelah kelas kita kan ya?”

“Ya iya lah dia kan kelas  XI IPA 5,” jawab Rara cuek.

“Bukan itu maksudnya!”

Rara menghentikan jarinya. Ia menengok kepada Rafa,”Lalu?”

Rafa pun menengok pada Rara. Mereka berdua saling bertatapan. Waktu seolah berhenti seketika. Rafa melihat ada suatu btatapan berbeda dari rara. Sayang, Rafa tak begitu memperdulikannya.

“Sudah tiga hari Rena sekolah bareng kita, padahal kita juga bertetanggaan. Tapi kok dia gak ndeketin kita ya? Dia juga jarang keluar rumah.”

“Mungkin dia pemalu, kayaknya dia juga tertutup.”

“Persis, aku juga berpikir begitu. Padahal dia itu cantik banget, kaya lagi. Kenapa harus tertutup ya?”

“Cantik? Rasanya kamu juga sering bilang kayak gitu sama aku.”

“Rara… bukan begitu juga. Okay! Kamu itu emang cantik dan dia juga sama cantiknya. Tapi…”

“Tapi dia lebih cantik?” Rara memotong perkataan Rafa.

“Kayaknya aku bakal mgrasain cinta lebih dulu daripada kamu.”

Rara nampak terkejut. Seketika binar matanya padam.

“Oh iya? Selamat kalo begitu.” Rara menyembunyikan keterkejutannya.

“Jatuh cinta ternyata indah…”

“Yeeeh Gelo!” sahut Rara,”aku mau kebelakang dulu deh. Udah kagak tahan.” Rara buru-buru berdiri dari duduknya.

“Eh gitarnya sama aku aja!” Pinta Rafa.

Rara memberikan gitanya. Lalu ia berjalan cepat masuk rumah.

“Yang cepet! Jangan lama-lama!” Teriak Rafa.

***

Rafa duduk sembari bermain gitar di bangku panjang berwarna putih pada taman belakang sekolah. Jarinya yang belum mahir memainkannya membuat nada-nadanya terdengar parah sekali. Pasti bakal pusing orang yang mendengarnya.

Namun disisi lain, Rafa punya keahlian dalam vocal. Suaranya begitu merdu. Berkat itu ia dapat menutupi ketidakmahirannya dalam bermain gitar. Karena ia baru belajar gitar, ia masih menanyikan lagu-lagu yang ringan dan tidak riber kuncinya.

“Oh cintaku ku mau tetapkanmu ‘tuk jadi permaisuriku… Jangan pernah berubah. S’lamanya ‘kan ku jaga dirimu seperti kapas putih di hatiku. Takkan kubuat noda…” ia menghentikan lagunya ketika tiba-tiba Rena dating dan duduk disampingnya.

“Suara kamu baguuus banget.” Puji Rena.

“Ahhh biasa aja.” Jawab Rafa malu-malu.

Rena menyodorkan buah apel dari tangan kanannya,”Nih buat kamu.”

Rafa terdiam seketika. Ia heran atas apa yang diperbuat gadis pujaannya itu.

“Tenang aja, ini bukan cerita Snow White, aku gak kasih racun kok.”

Kontan Rafa langsung mengambil buah apel dari tangan Rena,”Gak kok!” Ujar Rafa sekenanya.

Rafa menggigit buah apel tadi,”Eh Ren, kamu lebih suka jeruk ya?” tanyanya pad arena yang sedang mengupas kulit jeruk.

“Lagi pengen makan jeruk aja. Ujah sebulan ini aku jadi vegetarian. Hehehe”

Gila! Ketika tertawa, Rena makin cantik aja, Gumam Rafa dalam hati.

“Emmmm… kecut banget!” Seru Rena dengan mengernyitkan muka.

“Hahahaha….”  Rafa tertawa geli melihat ekspresi rena yang begitu lucu.

“Ko jeruknya beda?”

“Cobain dech apel ini!” Rafa mendekatkan apel yang tadi ia makan kemulut Rena. Ia bermaksud menyuapi Rena.

Tanap piker panjang, Rena menggigit pelan-pelan apel yang dipengan Rafa pada bagian yang belum digigit.

“Manis kan?” Uji Rafa.

Rena mengangguk. Ia menikmati setiap apel yang ia kunyah. Baginya itu adalah apel paling enak yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.

***

Malam itu Rara menangis di tempat tidurnya. Ia masih merasa aneh dengan apa yang ia rasakan. Tadi pagi ia melihat Rafa dan Rena duduk mesra di bangku belakang taman sekolah. Entah kenapa saat melihat itu, hatinya terluka sekali. Ia merasa cemburu. Ia juga tak rela sahabat terbaiknya itu duduk dengan cewek lain apalagi sampai mesra.

Rasanya ia ingin menceritakan semua itu pada orang lain. Tapi pada siapa? Mama, Papa, dan kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing. Teman? Bahkan karena ketomboiannya itu ia hanya dekat dengan Rafa saja. Apa mungkin ia akan menceritakan pada Rafa? Sementara Rafalah yang menyebabkan dirinya terluka.

“Ra… kamu nangis?” suara rafa yang tiba-tiba muncul dari pintu yang tak ia tutup. Rara langsung menghapus air matanya seketika.

“Kalau mau masuk ketuk pintu dulu!” gerutu Rara.

“Maaf, tadi pintunya terbuka.” Rafa duduk di ranjang. Persis disamping Rara.

“Ra, kamu kenapa? Baru kali ini aku liat kamu menangis” Tanya Rafa pelan, yakut Rara akan tersinggung.

“Kenapa aku harus jadi cewek?” Rara mulai bercerita.”Aku harus nunggu cowok yang aku cintai menayakan cintanya padaku. Kenapa cewek gak bisa nyatain perasaannya duluan?” Rara kembali menangis. Air matanya pelan-pelan membasahi pipinya.

“Kamu patah hati?” emangnya siapa cowok yang nyakitin kamu? Biar aku hajar nanti!”

Ya ampun Rafa, kenapa kamu gak sadar kalau kamu yang nyakitin aku, kamu yang buat aku patah hati. Aku cinta kamu. Coeok itu kamu, gak ada yang lain. Apa karena kit asudah sahabatan dari kecil sehingga sampai kapanpun kamu anggep aku sahabat? Apa karena kita sudah terlalu dekat sehingga raca cintamu terhalang untukku?... Rara terus saja kesal dalam hatinya pada semua itu.

“Ra… kamu belum siap cerita ya?” Rafa mendekatkan dirinya dan memeluk Rara erat-erat. Rara balas memeluk Rafa.

“Kalau kamu uadah siap, cerita ya!”

Rara semakin erat memeluk Rafa seolah ia tak mau melepasnya dan tak mengijinkan Rafa untuk pergi darinya.

“Sudah ya jangan menangis lagi! Jelek tau.” Rafa mencoba melepas pelukannya.”Jika kamu tak bisa mendapatkan cowok itu, ingatlah kalau kamu akan mendapatkan yang lebih baik darinya!”

Rara mengangguk pelan walauy ia tak setuju dengan pernyataan Rafa.

Rafa mengambil gitar yang tak jauh darinya. Ia memposisikan itu lalu mulai memainkannya. Ia ingin bernyanyi lagu berjudul ‘Kasih Tak Sampai’ milik Padi.

“Tetaplah menjadi bintang di langit… agar cinta kita kan abadi…”

Bodoh! Gumam Rara. Kenapa kau malah menyanyikan lagu itu?

***

Sepulang sekolah, Rara menunggu Rafa di parkiran sepeda. Seperti biasanya, ia akan nebeng dengan sepeda Rafa. Dari SD sampai SMA sekarang, ia dan Rafa memang selalu berangkat dan pulang bersama dengan berboncengan sepeda.

“Ra, nungguin ya?” sapa Rafa yang dating tiba-tiba. “Nih gitar kamu! Sekarang aku udah jago loh. Hehehe…”

“Ya udah, cepetan pulangh!” Ucap Rara sembari mengambil gitar dari tangan Rafa.

“Yeee jutek amat!” gerutu Rafa,”aku kan mau minta tolong sama kamu.”

“Minta tolong apa?” Tanya Rara sinis.

“Aku mau … mau… nembak Rena.” Ucap Rafa ragu-ragu.

Rara begitu terkejut. Kalimat itu benar-benar mengiris hatinya. Perih sekali.

“Jadi kamu bias kan mbikinin aku lagu special? Biar romantis gitu. Kamu kan jago.” Tambah Rafa

Rara mencoba sekuat tenaga menahan luka hatinya. Untuk permintaan Rafa kali ini, ia ingin sekali menolaknya padahal dari dulu apapun yang Rafa minta, ia selalu mengabulkannya.

“Iya! Itu soal kecil,” ucap Rara lirih sekali. Hampir Rafa tak mendengarnya.

“Beneran?” Rafa memeluk tubuh Rara dengan cepat.

Genangan air mata Rara mulai luruh. Rasanya sakit sekali, ia harus membantu orang yang dicintainya untuk mendapatkan orang lain. Ia ingin sekali nyawanya dicabut saat ini juga.

Rafa melepas pelukannya,”Kok kamu malah nangis?” Rafa keheranan.

“Aku terharu aja. Ternyata kamu bisa jatuh cinta,” jawab Rara bohong.

“E emmm … gak jadi deh,” Rafa kehabisan kata-kata,”makasih aja buat segalanya.” Ucap Rafa puas.

Rara hanya tersenyum. Senyuman palsu. Tak ada yang tahu kalau hatinya begitu mengerang kesakitan. Tapi itulah wanita, sesakit apapun hatinya, ia tetap mencoba bertahan.

“Tapi hari ini aku minta maaf banget. Hari ini aja. Aku sudah janji sama..”Rafa tersenyum tiba-tiba,”Itu dia!” ia menunjuk keberadaan Rena kepada Rara yang sedang mendekat dari jauh.

“Ohhh… gak papa kok. Aku bias naik angkot.” Rara kembali berbohong.

“Ok!” Rafa lega. Lantas ia segera berlari mengambil sepedanya. Lalu ia menghampiri rafa dan langsung memboncengi Rena.

Hancur! Hati Rara benar-benar  hancur. Ia mengeluarkan semua air mata yang ada. Tak peduli kalau banyak orang yang melihatinya. Ia tak bias lagi berpura-pura kuat dihadapan banyak orng. Ia hanya wanita biasa, yang merasa sakit bila hatinya disakiti tau lebih tepatnya terserang sakit. Rafa tak menyakitinya, hanya saja Rara merasa hatinya tersakiti.

***

Sesampainya di kamar, Rara lekas membuang tas dan gitanya begitu saja di ranjang. Lalu ia melangkah kedepan cermin. Ia melempar benda-benda kecil  yang ada disekitarnya kesembarang tempat. Keras sekali. Hingga bunyi-bunyi itu terdengar sampai luar kamar.

“Raraaa! Kamu kenapa?” seru kakaknya yang masuk ke kamar Rara.

Rara berhenti melempar. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang pelan. Lalu tangisannya terdengar sedu-sedu.

“Kamu patah hati?” Tanya kakaknya yang membuat Rara tersentak.”Maaf sebelumnya, kakak sudah baca diary kamu diam-diam. Kakak Cuma mau mastiin kamu baik-baik aja. Kalo kamu mau marah, marah saja sekarang sama kakak.” Kakak laki-laki Rara itu menjelaskan pelan-pelan.

“Kamu suka sama Rafa kan?”

Rara mengangguk pelan, nampaknya ia sama sekali tak marah. Kini air matanya mulai habis.

“Tapi Rafa suka sama cewek lain kan?”

Air mata Rara yang akan habis, kini kembali mengalir deras hingga bantak yang ditidurinya basah kuyup.

“Kadang, tak semua yang kita inginkan dapat kita miliki. Bahkan kadang kita lucu, merasa kehilangan hal yang tak pernah kita miliki,” ucap kakanya sembari mengelus Rambut Rara.

“Ra, sering sekali kita merasa hidup ini tak adil buat kita, hidup itu terasa kejam, terrasa sadis.” Kakaknya menghela nafas sebentar.”Tapi Ra, kamu harus sabar. Hanya kesabaran yang dapat menjawab semua pertanyaan, bahkan pertanyaan yang tak ada jawabannya sekalipun.”

“Rara Cuma kesel, kalau memang Rafa bukan milik Rara, kenapa dia harus hadir sejak dulu di kehidupan Rara. Dan kenapa baru sekarang Rara merasakan hal yang berbeda itu ketika semuanya sudah telat?” Rara ngotot sampai tersendak oleh tangisannya.

“Cinta gak pernah dating terlambat. Ia dating dengan tepat waktu. Coba saja cinta itu dating sebelum ini, mungkin kamu takkan kuat menahan sakitnya.”

Tiba-tiba ponsel Rara berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Rara lekas membaca. Sebuah pesan dari Rafa.

“Ra, tadi sore Rena ngajak kita berdua makan malam bersama di rumahnya. Kamu dateng ya! Kalau kamu gak dateng, aku akan kurang senang. ”

Rara berhenti menangis. Sesuatu hal tengah ia pikirkan.

“Jika kamu merasa belum siap, tahan dirimu dulu!” tutur kakanya kembali. Ia tersenyum lebar lalu segera bangkit.

“Kakak mau kemana?” seru Rara.

“Kamu lebih tau apa yang harus kamu perbuat.” Tukas kakaknya.

***

Malam harinya Rara mengurung dirinya di kamar. Memainkan gitarnya terus menerus. Ia tak peduli berkali-kali Rafa menghubungi ponselnya. Ia benar-benar ingin sendiri. Tak ingin siapapun menemani.

Pagi berikutnya, seperti biasa, Rafa memanggil-manggil Rara untuk diajak berangkat sekolah bersama. Namun yang keluar malah kakak Rara.

“Raf, katanya Rara sedikit pusing. Jadi gak berangkat sekolah. Tolong kamu maintain ijin ya!”

Hari itu Rafa benar-benar bingung dengan tingkah Rara. Tadi malam, rara tak menghadiri ajakan makan malam di rumah Rena. Sekarang dia tidak berangkat sekolah. Apa itu semua karena Rara sedang sakit? Tanya hati Rafa yang terus-menerus menghantuinya.

Sepulang sekolah, Rafa memutuskan menjenguk Rara di rumah. Namun, ketika sampai di kamar Rara, ia melihat rara tengah tertidur pulas.

“Raraaa,,,” Rafa mencoba membangunkan Rara.

Rara mencoba membuka kelopak matanta, namun rasanya sangat berat. Samar-samar ia melihat Rafa ada di depannya. Ia pun lantas bergegas duduk.

“Kamu kaget ya?” Tanya Rafa.

“Ngapain kamu disini?” Tanya Rara balik, ia heran.

“Njenguk kamu lah. Katanya sakit.”

Rara nyengir kuda. Padahal Rara bohong soal sakitnya.

“Udah baikan ya?”

“Lumayan.” Jawab Rara sekenanya. Ia merasa lega karena rafa tak mencurigainya.

“Syukurlah kamu baik-baik aja. Aku udah khawatir banget. Hehehe.” Ujar Rafa.

Rara terdiam, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada Rafa.

“Oh iya, aku udah selesai bikin lagunya.”

“Lagu yang aku minta kemaren?. Kapan kamu ngerjain, katanya sakit?”

Oops! Rara lupa kalau dirinya berpura-pura sakit.

“Kan Cuma pusing aja. Dari pada tamnbah pusing, jadi aku captain lagu aja. Udah aku rekam juga. Nih!” Rara member flashdisk kepada Rafa.”Udah aku pindah kesitu.” Tambahnya.

“Kamu hebag banget! Cuma satu malam. Wow.” Puji Rafa.

“Gak usah lebay begitu. Oh iya disitu juga udah ada teks lagu plus kordnya. Lengkap. Tapi jangan lupa, besok kembaliin flashdisk-nya!”

“Sip. Aku minjem gitarnya dulu ok!”

Rara menoleh kepada gitar disampingnya. Ia menggambil gitar itu.

“Gitar ini buat kamu.”

“Beneran???” Rafa kaget namun girang setengah mati.

Rara mengangguk sambil tersenyum.

“Kamu emang sahabat yang baik.” Ucap Rafa lalu mencium pipi kanan Rara. Setelah itu ia bergegas bangkit. Dan lari terbirit-birit keluar kamar.

Sunyi. Kamar itu kembali sunyi. Rara mengelus pipi yang barusan dicium oleh Rafa. Seketika air matanya keluar. Baginya, ciuman itu akan selalu ia kenang dalam hidupnya. Walau itu hanya ciuman sebatas rasa terimakasih.

***

Rara dan Rena menikmati es campur di kantin sekolah. Sejak tadi, kedua gadis itu hanya saling diam.

“Ra, Rafa itu pacar kamu ya?” Tanya Rena yang hamper membuat Rara tersendak minum.

“Gak kok, Rafa itu Cuma temen semenjak kecil. Maklum kalo kita begitu deketnya.” Jawab Rara enteng.

“Oh jadi begitu.”

Rara kembali menyeruput es campurnya.

“Ren!” tiba-tiba ada suara cowok yang memanggil.

Rara dan Rena menatap cowok itu serius, temen sebangkunya Rafa di kelas.

“ada yang nunggu kamu di lapangan basket sekarang juga. Penting!” Cowok itu berseru keras. Rasanya itu memang benar-benar penting.

Rena menarik lengan Rara agar mengikutinya. Sesampainya di lapangan basket, begitu banyak murid-murid  berkerkerumunan. Ada apa ya? Gumam Rena.

Rara dan Rena menerosok kerumunan itu. Mereka berdua kaget ketika yang dilihatnya adalah Rafa yang duduk pada kursi yang diletakkan di atas podium. Rafa memegang gitar dan sudah ada mic di depannya yang terpasang.

“Rena… dengerin ya! Lagu ini special buat kamu.” Ucap Rafa.

Rena begitu bingung. Sedang rara tahu kalau Rafa pasti akan menyanyikan lagu ciptaannya.

Suara merdu Rafa mulai mengalun lembut sekali. Membuat siapapun yang mendengar ikut terbawa suasana romantis.

Bergetar hati ini saat mengingat dirimu
Mungkin saja diri ini tak terlihat olehmu
Aku pahami itu

Bagaimana caranya agar kamu tahu bahwa
Kau lebih dari indah di dalam hati ini
Lewat lagu ini ku ingin kamu mengerti
Aku sayang kamu, ku ingin bersamamu

Lagu telah usai. Rena terlihat sangat tersipu malu namun hatinya senang sekali. Ia tak pernah merasakan sebahagia ini.

“Ren, maukah kamu jadi pacarku?” uacap Rafa lirih tapi terdengar keras.

Semua yang ada disitu sontak bersorak,”Terima! Terima! Terima!...”

Rena mengangguk pelan. Dan itu artinya… Rena menerima Rafa menjadi pacarnya.

Sementara itu, Rara terpaku. Ia tak percaya dengan semua itu. Bagaimana mungkin Rafa menyanyikan lagu yang sesungguhnya ia ciptakan buat Rafa, tapi Rafa malah menyanyikan untuk gadis lain? Tak karuan sekali rasa yang Rara rasakan, ia langsung berlari sekenjang mungkin menjauh. Ia menuju toilet, tak sadar kalau ia berlari sembari menangis dan dilihat oleh orang-orang yang dilewatinya. Sampai di toilet, ia meluruhkan semua kesedihannya. Tangisannya keras sekali, namun syang, tak ada orang di toilet itu.

“Ra… buka Ra!” setelah sekian lama menangis suara seorang gadis yang memanggilnya sambil mengetuk-ngetuk pintu toilet. Rara tau kalau itu Rena. Rara pun membukanya.

Seketika Rena langsung memeluk Rara erat-erat.

“Ra mamafin aku. Aku tau kamu suka sama Rafa. Kalau ini semua membuatku sakit, aku rela melesat Rafa dariku untukmu.”

Rena melepas pelukannya. Mereka berdua mengeluarkan air mata yang sama. Namun entah kenapa Rara mengusap air matanya sendiri cepat-cepat.

“Enggak! Apa kamu gak benar-benar cinta sama Rafa?”

“Aku memang sangat cinta, tapi aku tak mau ada yang sakit karena hubungan ini.”

Rara menatap Rena tajam-tajam.

“Enggak boleh ada satu diantara kita yang mundur!” tegas Rara.

“Tapi Ra…” Rena memelas.

“Cinta harus diperjuangkan Ren,”Tegas Rara sekali lagi,”biarlah dengan sendirinya cinta itu memilih yang terbaik. Walaupun suatu haru nanti Rafa tetap memilih kamu.”

“Kamu…”

“Kita kan selalu jadi sahabar kanRen?” Rara tersenyum walau hatinya perih sekali.

Rena diam lalu,”Pasti!”

Merteka berdua  tersenyum hangat lalu berpelukan kembali. Sudah! Biarlah cinta yang menentukan siapa yang kayak disisinya.

Tamat



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -