- Back to Home »
- CERPEN »
- Cerpen: Cinta di Warung Kopi
"Cinta tak harus berawal dari perkenalan yang panjang maupun pertemuan yang lama, cinta bisa saja hadir pada pandangan pertama" - Ma'arif Suryadi
(Sebuah cerita adaptasi dari video Landon Pigg - Falling in Love at a Coffee Sho | Cerpen ini pernah dimuat dalam MediaObsesi.com: 12 Mei 2013)
Namaku Dustin Hoffman, lumayan keren ya namaku. Nama itu dikasih sama mama (panggilku kepada ibuku) yang dulu pernah jadi pegawai kedutaan di Brazil. Katanya dia ambil nama itu dari nama teman dekatnya di Brazil. Sekarang aku kuliah di ITB jurusan teknik kimia dan udah semester 4. Sejak lulus SMA di jakarta, aku langsung kuliah di bandung. Sebenarnya aku tidak begitu memikirkan soal kuliah. Karena itu aku menghabiskan waktuku dengan penuh keceriaan bersama-sama orang terdekatku, lebih tepatnya bersama teman satu kos.
Bicara soal orang terdekat; dulu waktu SMA, aku sempat satu tahun lebih menjalin hubungan dengan seorang yang memiliki senyuman termanis yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Namanya Angelita Putri. Tapi sayangnya hubungan kita harus kandas ketika Angel memilih untuk kuliah di Inggris. Sebenarnya waktu itu kita berdua tahu kalau masih saling cinta, tapi mungkin inilah terbaik yang Tuhan berikan untuk kita. Dan pada akhirnya, perpisahan memang menyisakan seribu luka, tapi dari situ aku mengerti betapa berharganya seseorang itu dalam hidupku.
Aku masih ingat dengan sebuah barang yang Angel kasih di bandara sebelum kami berpisah untuk waktu yang sangat lama, mungkin juga untuk selamanya. Ia memberiku sebuah jam analog kecil yang lebih mirip dengan stopwatch pada umumnya. Kata Angel itu adalah jam antik yang telah membuat aku dan dia bersatu. Bagaimana bisa? Yah, awalnya juga aku tak mengerti. Sampai suatu hari, aku ingin mencocokkan jam antik itu dengan jam dinding kamarku. Persis seperti stopwatch, aku menarik tombol pangatur jam itu. Jarum Jam itu pun berhenti. Dan anehnya, beberapa teman kosku yang sedang gitaran di dekatku tiba-tiba tidak bergerak sama sekali. Setelah aku telusuri, ternyata semua yang aku lihat itu berhenti. Dengan penuh rasa heran, aku menekan kembali tombol jam itu setelah mencocokkan waktunya, dan semuanya kembali bergerak, begitu juga dengan teman-temankuku yang gitaran. Jam itu ajaib! Bisa menghentikan waktu di seluruh dunia ini dengan hanya menarik tombol pengaturnya.
Sejak saat itu aku memasangkan jam antik itu dengan sebuah kalung. Sesekali aku memanfaatkan jam itu untuk berbagai hal; seperti untuk tidur lebih lama, mandi lebih lama, agar tidak telat kuliah, dan banyak lainnya. Selama itu aku tak memanfaatkannya untuk hal yang keterlaluan. Aku takut kualat.
Hari pertama...
Kemanapun aku pergi aku selalu mengalungkan jam antik itu di leherku. Begitupun dengan sore ini. Setelah penat sejak pagi presentasi di depan kelas, aku berniat untuk menghabiskan waktu senggangku ini di warung kopi. Sesampainya di warung kopi paling terkenal di kota bandung ini, aku memilih tempat duduk dekat pintu. Sambil menunggu pelayan datang, aku mencocokkan jam antikku dengan jam dinding di warkop ini. Ternya sama-sama menunjukkna waktu 4.30, atau lebih tepatnya jam 16.30.
Di mejaku banyak sekali benda aneh. Salah satunya kotak persegi kecil yang aku gak tau apa yang ada didalamnya. Di meja ini juda ada garpu, sendok, dan pisau yang tergeletak begitu saja di meja. Entah kenapa warkop ini begitu terkenalnya di bandung, padahal mejanya saja tanpa taplak, jendelanya tanpa gorden, lalu tanpa hiasan apapun di dindingnya kecuali jam dinding yang telah usang. Mungkin karena warkop ini terletak di kawasan bangunan-bangunan eropa jaman dulu, sehinngga membuatnya memilkiki daya tarik tersendiri.
Bandung disebut paris van java juga karena bangunan-bangunan bekas penjajahan jaman bahoele oleh orang-orang eropa - terutama belanda - yang berdiri disini. Aku rasa warkop ini juga bekas gedung peninggalan belanda karena dinding diluar terlihat begitu klasik dangan arsitektur khas eropa era 20-an. Entah siapa yang merawat bangunan-bangunan disini hingga terlihat masih kokoh.
Tiba-tiba ada sesuatu yang membuat mataku terpaku; seorang orang gadis cantik yang duduk lima meja di depanku. Sambil menyerurup secangkir kopi, gadis itu terus saja memandangku. Aku jadi salah tingkah. Tanpa sengaja mata kami bertamu di satu titik yang penuh dengan ketidakpastian. Entah apa yang gadis itu lihat, pandangannya begitu kosong tanpa isi.
“Permisi tuan, mau pesan apa?” tiba-tiba suara pelayan laki-laki mengagetkanku. Lantas aku mengalihkan pandanganku dari gadis itu ke pelayan.
“Kopi hitam, emmmm sama telor mata sapi aja.” Pesanku singkt.
“Tunggu sebentar ya...” tukas pelayan itu.
Aku mengangguk sambil tersenyum ramah pada pelayan itu. Pelayan itu segera meninggalkanku.
Aku kembali melirik gadis cantik tadi. Kali ini dia tak lagi memandangiku. Aku kagum dengan pakaian yang ia kenakan. Sepatu hak tinggi berwarna coklat, lalu celana panjang mirip dengan celana yang biasa dikenakan penyanyi dangdut era 90-an. Ia mengenakan short dress dengan motif bunga-bunga bernuansa ungu. Rambutnya pun uniuk, diikat satu dan dijulukan kedepan. Keliatannya dia tak memakai kosmetik apapun, tapi tetap terlihat begitu cantinya. Dia seperti wanita eropa era 60-an. Unik sekali.
Wanita itu menghabiskan secangkir kopinya. Lalu mengambil sebuah kotak persegi yang juga ada di mejaku. Dia membuka kotak itu dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Ternyata isi kotak itu adalah potongan-potongan kertas kecil yang bertuliskan suatu kata. Mirip potongan kertas yang digunakan oleh peramal atau paranormal untuk memprediksikan sesuatu. Mungkin gadis itu ingin merangkai sebuah kalimat. Tapi ada yang aneh, dia tersenyum-senyum sendiri, entah apa yang membuatnya tersenyum.
Tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di pikiranku. Aku melihat kepada jam antik yang dari tadi aku pegang. Aku menarik tombol pengatur jam itu. Dan.... semua benda berhenti. Waktu terhenti, dan semua tak bergerak sedikitpun kecuali aku sendiri. Dengan langkah gembira aku mendekat ke gadis cantik di hadapanhku. Dalam langkahku, aku mengambil sebuah apel merah dari salah satu meja yang aku lewati. Aku menggigit salah satu bagian apel itu, lalu meletakkannya di samping cangkir yang air kopinya sudah habis diminum oleh gadis tadi.
Aku mencoba membaca kata-kata dalam potongan kertas yang digenggam wanita itu;
Jatuh – dia- cinta – pengembara – mungkin – naksir – penjahat – kamu – coba – aku.
Aku berhenti membacanya. Malas aku harus membaca keta-kata sebanyak itu. Seketika itu aku mulai merangkai sebuah kalimat dari kata-kata itu di depan cangkirnya. Setelah itu aku kembali ke kursi tadi. Lalu menekan tombol pengatur jam antikku. Semuanya bergerak kembali.
Aku menundukkan kepalaku, pura-pura tak melihat gadis itu, padahal mataku selalu melirik kepadanya. Aku rasa, gadis itu mulai bingung karena melihat apel merah yang telah digigit sebagian tiba-tiba ada di mejanya. Tak tahu kenapa gadis itu melirik kepadaku. Mungkinkah dia curiga denganku?
Aku terus pura-pura sibuk mengotak-atik jam antikku. Gadis itu terlihat semakin terkejut ketika membaca rangkaian kata yang tersusun di bagian depan mejanya.
Mungkin – aku – telah – jatuh – cinta – pada – kamu
Ia melihat kertas yang masih ada di tangan kanannya. Sebuah kata bertuliskan: pengembara. Matanya kembali melirik kepadaku dengan senyuman sinis yang misterius. Sementara aku menahan tawaku karena melihat dia begitu terlihat bodoh. Aku merasa puas karena berhasil membuat gadis cantik itu merasa kebingungan.
Gadis itu berdiri dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya mengarah kepadaku. Ia berhenti tepat disampingku sambil tersenyum seolah dia tahu tentang apa yang sudah aku perbuat. Aku tetap belaga tak tahu apa-apa. Tak lama ia kembali melangkahkan kakinya, kali ini dia keluar dari tempat ini.
Seketika aku langsung menegeluarkan semua tawaku yang dari tadi aku tahan. Tanpa sedar semua orang di warung kopi itu melihatku dengan tatapan aneh, mugkin mereka mengira aku tidak waras karena tertawa sendiri tanpa ada alasan.
***
Hari kedua...
Sore ini aku kembali mengunjungi warkop. Cuma satu tujuanku, ingin kembali menatap wajah gadis cantik kemarin. Aku sampai tepat jam 16.30, sama seperti sore kemarin. Agar terlihat lebih rupawan, kali ini aku memakai kaos oblong berwarna merah lalu dirangkap kemeja kotak-kotak hitam-coklat tanpa dikancing. Untuk bawahan, aku memakai jeans berwarna cokalat untuk menyeimbangi warna kemejaku.
Aku memilih tempat duduk yang sama seperti kemarin, dekat dengan pintu. Dan apa yang aku harapkan benar-benar terwujud. Gadis cantik yang kemarin aku lihat, kini datang kembali ke warkop ini. Aku tak dapat menggambarkan betapa senangnya kau. Bila hatiku seperti bunga, maka saat ini bunga itu tengah bermekaran layaknya bunga yang bermekaran di musin semi bulan april. Sungguh sangat indah rasa yang sekarang ada di hatiku.
Aku tak tahu, apa alasan gadis cantik itu kembali memilih tempat duduk yang sama seperti kemarin sore. Mungkin dia punya alasan sama sepertiku. Merasa nyaman di tempat duduknya.
Sore ini, gadis itu terlihat jauh lebih cantik dari sebelumnya. Aku harap dia juga berfikir kalau aku lebih tampan dari sebelumnya. Ia memakai jaket coklat terbuka yang di dalamnya kaos casual berwarna kuning cerah. Lebih menarik lagi dia memaki celana panjang ketat dengan sedik motif dan tebuat dari bahan yang tipis, lemas dan halus. Di lehernya ia menggantungkan topi koboi yang di letakan di belakang punggunhnya. Rambutnya pun berbeda, di kepang satu dan dijulurkan ke belakang. Poni rambutnya membuat dia tampak semakin manis saja.
Mungkin gadis itu baru datang karena belum ada secangkir kopi di mejanya. Entah apa tujuannya, ia menata ala-alat makan di mejanya; meletakkan sendok dan garpu berdampingan di sisi kakan meja, lalu meletakkan pisau di sisi kiri meja. Aku semakin heran, jagan-jangan dia seorang peramal? Soalnya dari kemarin dia melalukan hal yang aneh.
Tanpa menunggu lama, aku menarik tombol jam antikku. Dan semua benda apapun menjadi diam kecuali aku. Dengan tak beretika, aku menaiki meja lalu melompat ke meja berikutnya. Mirip sekali seperti anak kecil yang baru belajar melompat. Aku behhenti sejenak di salah satu meja. Begitu jailnya, aku aku mengambil shal yang di pakai oleh seorang wanita kulit hitam di lehernya. Kemudian aku melompatke meja berikutnya. Aku melihat 5 balon warna-warni yang sedang di pengan seorang laki-laki separuh baya. Mungkin dia penjual balon atau yang lain, yang jelas aku tak tahu. Tanpoa pikir panjang aku mengambil tali pegangan yang mengikat balon tersebut. Kembali aku melomp[at ke meja berikutnya sampai aku berdiri di meja gadis cantik yang aku tuju. Aku melompat turun dari meja.
Tanganku yang begitu jail ini mengelu-elus poni wanita itu. Lalu mendekatkan bibirku ke pipi kanannya. Aku mencium pipi gadis itu dengan gemasnya. Setelah itu aku memakaikannya shal yang aku ambil tadi ke lehernya. Mililitkannya dengan perlahan. Wow!! Dia semakin tampak cantik. Sempurna sekali cantiknya.
Kembali tangan jailku ini mengerjainya. Aku mengikatkan tali 5 balon yang aku ambil tadi ke tempat sabuk yang ada di bagian belakang celananya. Hahaha aku benar-benar konyol!! Dan itu belum membuatku puas menjailinya. Aku pun membuka tas milik gadis itu yang ada di atas meja. Aku memeriksa isinya. Ternyata hanya berisi dompet dan tumbukan tisu. Buat apa dia bawa tisu sebanyak ini? Aneh. Setelah itu aku mengambil KTP yang ada di dompetnya. KTP itu menyebutkan kalau namanya Laura Alexandra. Seperti nama orang jerman, atau jangan-jangan dia keturunan jerman? Kayak artis Cinta Laura gitu. Ahhh... entahlah. Dia tinggal di perumahan mewak dekat dari sini. Jelas kalau dia orang kaya, minimal setara denganku. Umurnya juga sama denganku, 22 tahun.
Setelah membaca identitas di KTP-nya, aku memasukan dompetnya ke tas seperti semula. Aku kembali mempermainkan poni indahnya itu. Lalu aku mencium pipi kirinya, rasanya gemas sekali. Dia bagai malaikat yang Tuhan berikan untuk menggantikan Angel, pacarku sewaktu SMA. Kalau dilihat-lihat sih gadis ini lebih cantik, lebih manis, dan lebih menarik. Mungkin ini dinamakan tertarik saat pertama kali melihat tatapan matanya.
Entah kenapa aku merasa gadis bernama Laura ini telah merubah hidupku menjadi lebih indah setelah lama aku merasakan sakitnya kehilangan seseorang yang aku cintai. Ia telah menggantikan bayang-bayang angel menjadi bayangnya di setiap helaan nafasku. Senyumannya selelu terngiang-ngiang di benakku. Mungkin aku jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama.
Aku menghentikan lamunanku. Lalu kembali ke tempat dudukku semula. Seketika dunia kembali bergerak setelah tekan satu-satunya tombol yang ada pada jam antikku. Mungkinkah dulu angel melalukan hal yang sama untuk mendapatkanku? Yaah, aku rasa begitu. Mungkin saja kali ini aku beruntung untuk mendapatkan gadis bernama Laura.
Aku pura-pura menatap jam dinding, namun mataku tetap mencoba melirik kepada Laura. Nampaknya ia kembali terkejut dengan Shal yang melilit lehernya. Lalu aku melihat dia sedikit kesal dengan balon yang terpasang di celana begian belakangnya. Aku memalingkan mukaku ke wanita itu, berpura-pura bodoh melihatnya. Aku melihat ada senyum yang ia sembunyikan.
Tiba-tiba gadis itu enyah dari tempat duduknya, lalu berjalan ke arahku. Seperti kemarin, ia berhenti di sisi kiriku. Sementara aku pura-pura tak mengetahui kehadirannya. Sekuat tenaga aku menahan tawaku. Ini benar-benar lelucon.
Tak lama berdri di sisiku, ia pergi keluar Warkop begitu saja. Entah apa yang ia pikirkan, sehingga sejenak tadi ia berdiri di sisiku.
Tiba-biba mataku terperanjat ketika kulihat dompetku di atas meja. Padahal dari tadi aku belum mengeluarkannya dari celana. Dan yang lebih mengejutkan, ada secangkir kopi di atas mejaku yang belum terminum. Aku merasakan sesuatu yang janggal, dari tadi aku sama sekali belum memesan kopi. Anehnya lagi aku juga secangkir kopi di atas meja gadis tadi, perasaan aku tadi tak melihatnya.
Ini semua begitu aneh. Apa mungkin ada seseorang yang memiliki alat penghenti waktu sepertiku???!
***
Hari ketiga...
Dengan perasaaan sangat berat aku mencoba membuka mataku setelah titu saiang yang lelap. Aku menengok ke jam dindingku. Haaaahh??! Jam lima sore? Ya ampun… aku lupa menghentikan waktu! Pahahal sore ini aku harus ke warung kopi untuk menemui Laura kembali. Aku tak mau sampai satu hari saja aku tak bertemu dengannya. Beberapa jam saja tak melihat wajahnya, aku merasa lebih dari tersiksa, apalagfi sampai satu hari? Aku benar-benar tak bisa membayangkan betapa sedihnya aku nanti.
Dengan cepat aku menarik tombol pengatur jam antikku. Seperti biasa, semua langsung menjadi diam, begitu juga dengan jam dinding di kamarku. Tanpa mengganti baju yang sejak tadi pagi aku pakai untuk kuliah, aku segera keluar rumah. Ternyata ada sebuah sepeda kuno geletak begitu saja di pinggiran jalan. Aku mengambil sepeda itu dan menaikinya. Aku mengayuh secepat-cepatnya, secepat yang aku bias. Sampai tak tersa keringat sudah banyak bercucuran dari badanku.
Sebetulnya ini adalah tindakan yang sangat bodoh dan percuma karena jelas-jelas waktu telah aku hentikan. Tapi entah mengapa kau begitu khawatir. Sementara itu sepedaku melaju melewati sebuah persimpangan. Ada mobil, motor, dan bus yang sama sekali tak bergerak. Setelah sampai depan warkop, aku menggeletakkan sepadaku begitu saja langsung berlari masuk ke dalam warkop.
Dari dekat pintu aku melihat jam dinding, pukul 17.00. Sementara warkop itu sudah sepi dengan pengunjung, hanya tinggal segelintir orang saja. Dan yang aku sesali, gadis yang aku cari tak ada di warkop ini. Mungkin aku telat ke sini dan gadis itu sudah pulang duluan. Badanku benar-benar lemas. Aku memutuskan untuk duduk di kursi biasa, dekat dengan pintu.
Aku benar-benar meratapi kekecewaanku. Kenapa rasanya ada sesuatu hal yang begitu berharga hilang dalam hidupku. Kenapa rasanya begitu menyedihkan? Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan, aku harap dengan cara itu penyesalan dan kesedihanku akan sedikit berkurang. Tapi ternyata aku salah, tak sedikitpun perasaanku membaik. Apa yang menyebabkan semuai ini. Sungguhkah karena gadi itu? Siapa gadis itu? Kenal saja tidak, dan baru saja bertemu dua hari. Tapi kenapa aku begitu merasa kehilangan atas sesuatu yang tak pernah aku miliki sekejabpun? Bukankah itu suatu kebodohan?
Dengan hati gelisah, aku memandangi kursi yang biasa di duduki Laura. Aku meniru apa yang dulu pernah iya lakukan saat aku pertama melihatnya. Aku mengambil kotak persegi yang aneh. Lalu mengambil semua potongan kertas kecil yang ada di dalamnya. Membaca satu persatu kata yang tertulis di kertas itu. Tiba-tiba aku teringat kalau aku masih menghentikan waktu. Aku pun menekan tombol di jam antikku ini. Dan… semua kembali bergerak.
Aneh!!! Tiba-tiba ada cahaya gelap yang menutup semua pandanganku. Dan seketika itu, dengan cepat kegelapan itu menghilang. Benar-benar ada yang aneh dengan semeu ini. Aku merasa telah melakukan sesuatu yang tak aku sadari. Dengan kebingungan aku memeriksa sekeliling ruangan ini, tak da yang mencurigakan, semua baik-baik saja.
Seketika itu ada sesuatu yang membuat mataku terperanjat. Aku terpaku setengah mati ketika melihat rangakain kata-kata ada di bagian depan mejaku. Persis ketika aku menyusun kata untuk Luara jauh-jauh hari.
Aku – Tahu – Itu – Kamu
Sebuah kalimat yang begitu singkat namun menyimpan seribu arti. Siapa yang telah melakukan semua ini? Kenapa bisa? Atau jangan-jangan benar ada orang lain yang punya alat penghenti waktu sepertiku? Dan bukan hanya sekarang, kemarin juga tiba-tiba dompetku tergeletak di atas meja dan ada secangkir kopi pula. Itu bena-benar aneh dan sulit dijelaskan secara nalar.
Ada sesuatu yang manarik di mejaku, 3 tempelan atau pin kecil berbentuk hewan yang berbeda-beda. Dari kiri, ada pin jerapah berwarna kuning, lalu yang tengah ada pin ikan berwarna biru, dsan yang paling kanan ada pin bebek berwarna pink. Apa maksud dari semua ini? Jelas ada orang yang sengaja melakukan semua ini.
“Kriiiiinggg... kriiiinggg...” suara bel sepeda dari luar warkop.
Aku segera palingkan pandanganku ke laur ruang yang terlihat dari pintu kaca itu. Ada Laura sedang berdiri sambil memegangi sepeda yang aku bawa tadi. Lalu ada sesuatu yang ia tunjukan. Aku terkejut setengah mati ketika kulihat sebuah jam antik seperti kepunyaanku. Aku memeriksa keberadan jam antik di leherku, ternyata masih ada. Berarti Laura memiliki jam antik itu yang sama denganku.
Aku berdiri lalu melangkahkan kakiku keluar warkop. Laura nampaknya menungguku di luar.
“Hey tuan Dastin...” sapanya meledekku. Dia tahu namaku, pasti dia yang menggeledah dompetku kemarin.
“Hello nona Laura” sapaku membalas.
Aku mendekatkan diriku ke gadis itu.
“Hidup itu ajaib ya?” katanya tanpa basa-basi.
“Aku rasa begitu, aku tak pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini. Hehehe” Ujarku tertawa.
Laura melemparkan senyum manisnya, aku pun membalasnya. Rasanya ia bisa membaca pikiran orang.
Tiba-tiba Laura mengeluarkan kata yang membuat jiwaku melayang jauh.
“Mau kencan denganku?” ajak Laura.
“Menurutmu?”
Kontan Laura menarik tanganku hingga tepat disebelah sepeda. Aku tahu maksudnya, ia ingin aku memboncenginya naik sepeda. Suatu kencan paling unik di dunia ini.
Aku menggayuh sepeda itu, sementara Laura terduduk manis di jok belakang.
“Emmm, kamu suka ya sama aku?” tanyaku tanpa pertimbangan.
“PD banget kamu jadi orang.”
“Ya PD dong. Buktinya kamu dari tadi pegangin perutku kencang banget. Takut jatuh atau...”
laura menggerakkan tangannya, mungkin dia ingin melepas dekapannya. Tapi dengan cepat aku memegang tangan kanan Laura dengan tangan kiriku. Tanpa aku mencegahnya.
“Jangan dilepas.... kan sekarangh kita pacaran.”
Laura tak jadi melepas dekapanya, ia malah meletakan kepelanya di punggungku. Romantis sekali. Aku rasa dia melakukannya dengan penuh rasa cinta. Sementara aku terus mengayuh sepeda. Berkeliling menyusuri sudut-sudut paling romantis di Bandung. Belum lagi dengan cahaya mega yang menambah keindahan senja ini. I Love Warung Kopi...
Akhirnya aku menyadari kalau dunia ini memeng begitu ajaib. Aku tak dapat menebak satu detik pun sesuatu yang akan terjadi. Apalagi kalau soal cinta. Kita takan pernah tahu dengan siapa kita kelak sebelum kita bersama dengan orang itu. Dan semoga cinta aku dan Laura takkan pernah berakhir untuk selamanya. Amien.
Tamat