- Back to Home »
- CERPEN »
- Cerpen: Mikha Tak Menjawab
"Jika tak ingin kecewa, maka jangan pernah berharap. Namun tanpa berharap, bisa jadi kita akan jauh lebih kecewa. Karena harapan adalah dasar dimana kenyataan itu bermula" - Ma'arif Suryadi
(Cerpen ini pernah dimuat dalam MediaObsesi.com | 03 Juni 2013)
(Cerpen ini pernah dimuat dalam MediaObsesi.com | 03 Juni 2013)
Di dalam hidup tidak ada jaminan untuk selalu hidup bahagia. Segalanya bisa hilang hanya dengan sekejab mata. Itulah yang kurasakan selama tujuh belas tahun hidup di dunia ini. Walaupun aku bersikeras mempertahankan semua yang kumiliki, namun tetap saja semua itu menghilang dan meninggalkan bekas yang sulit dihapuskan.
Aku tak banyak menutut kepada dunia ini. Tapi entah kenapa banyak orang yang menuntutku. Bahkan ada seseorang yang sangat aku cintai, menuntutku untuk menjadi diriku yang lain. Aku tak menyalahkan itu semua, tapi aku juga tak dapat menerimanya. Itu semua membuat aku menjadi seseorang yang sangat mengutuk dengan yang namanya perasaan.
Perasaan yang paling aku kutuk adalah rasa kehilangan. Rasa itu menjadi yang paling sakit utuk dirasakan dan yang paling susah untuk dihapuskan. Mungkin hanya waktu yang dapat menghapusnya, itu saja jika mampu.
Ada seseorang yang telah mengajarkanku arti dan sakitnya sebuah kehilangan. Walaupun pada awalnya aku tak dapat menerima hal itu, namun pada akhirnya kehilangan mengajarkanku betapa berartinya seseorang dalam hidupku.
Aku masih belum mampu melupakan seseorang itu. Kisahnya berawa ketika suatu malam, ada sebuah SMS dari nomor asing yang masuk ke ponselku.
“Malemmm... udah tidur ya?”
Dengan penuh rasa penasaran aku membalas SMS itu.
“Belum kok!!! Kalo boleh tau ini siapa ya?”
“Ah payah! Masa gak tau? Ya udah lah, kamu gak boleh tau!”
Aku kesal dengan jawabannya.
“Nomer kamu gak ada di kontak HP-ku, ya jadi aku gak mungkin tau kamu siapa.”
Aku menunggu balas dari orang misterius itu. Namun setelah lama menunggu, orang itu tak kunjung membalasnya. Aku mulai berfikir. Layaknya seorang detektif , aku mencoba menerka-nerka nomor tadi. Ternyata itu nomor keluaran produk IM3. Rasanya aku pernah tahu nomer itu.
Tiba-tiba ada sesuatu yang masuk dalam pikiranku. Yah! Itu nomor milik gadis bernama Mikha. Dia dalah teman sekelasku. Seminggu yang lalu aku mendapat nomor itu dari teman sebangkunya, Fahri. Mungkin Fahri berniat mencomblangkan aku dengan temannya yang seumur hidup tak pernah pacaran. Waktu itu Fahri memberiku sepotong kertas yang disitu tertulis nomer ponsel Mikha. Namun sialnya, aku lupa menaruhnya. Dan bodohnya lagi, aku tak meminta kembali kepada Fahri. Aku malu dan tak berani.
Untung saja aku sempat menghafal nomer itu, ya walaupun baru sebentar langsung lupa. Tapi berkat itu, sekarang aku jadi ingat bahwa nomer itu tak asing, tak salah lagi itu kepunyaan Mikha.
Tanpa berpikir panjang, aku kembali mengirim SMS ke nomer tadi.
“Maaf aku baru inget, ini pasti Mikha?”
Tak lama setelah itu, Mikha membalasnya.
“Kok tau? Tau dari mana? Paling minta ke Fahri, iya kan?”
“Tau sendiri donk!!! Rama gitu loh!”
“Terus gue suruh bilang WOW gitu?”
“Bilang aja yang kenceng, kalo perlu pake koprol! Hahaha,” ujarku becanda untuk menghangatkan suasana.
Aku dan Mikha terus bermain SMS. Ternyata Mikha orangnya sangat asyik. Aku kira dia orang yang monoton, ternyata aku salah. Saking ayiknya, aku sampai tak merasa kalau aku sudah SMS-an dengan Mikha selama enam jam tanpa henti. Sementara jam dinding di kamarku menunjukkan puluk 02.00 dini hari.
Baiklah, aku menyerah kepada waktu. Dengan rasa keberatan, aku tak menjawab SMS terakhir dari Mikha. Kalu diteruskan, bisa-bisa kita tidak tidur semalaman.
Sambil berusaha memejamkan mata, aku kembali mengingat kronologi pertemuanku dengan Mikha.
Pertama kali kau melihat Mikha yaitu pada saat kegiatan ekstrakurikuler PMR jumat sore. Waktu itu dia datang terlambat, dan dengan PD-nya dia masuk kebarisan sambil cengengesan. Benar-benar seperti tak tau dosa. Harusnya dia menghadap ke dewan PMR untuk melapor ketidakdisiplinannya itu. Saat aku terlambat saja, aku diberi sanksi berupa lari keliling lapangan lima kali. Lalu dia? Bebas begitu saja? Benar-benar mengesalkan.
Rupanya cerita tentang dia tak berhenti. Aku bertemu dia kembali saat kami sama-sama mengikuti olimpiade pemrograman. Taukah apa yang saat itu aku rasakan? Aku benar-benar tak percaya kalau Mikha ternyata punya kemampuan otak lebih. Berbeda sekali ketika pertama aku melihatnya yang begitu tengil, kali ini dia terlihat berbeda. Dia lebih terlihat kelihaiannya dan sisi kewanitaannya; dewasa dan lembut.
Sejak mengikuti olimpiade itu, aku mulai mengenal dia, dan mungkin juga sebaliknya. Dia begitu ramah padaku tapi aku malah cuek kepadanya. Aku paling malas beramah-ramah palsu. Dan mungkin saja dia hanya berpura-pura ramah padaku, ya seperti kebanyakan orang kalau baru bertemu atau baru kenal.
Seiring berjalannya waktu, membawa aku dan Mikha menempati satu ruang kelas yang sama, kelas sebelas IPA satu. Aku menyebut itu sebagai takdir pertama. Aku percaya kalau tak ada satu hal pun di dunia ini yang kebetulan. Ada banyak sekali hal yang tak terduda kadang terjadi dalam hidupku.
“Kuk... kuruyuuukkkk.....”
Suara ayam yang mengagetkanku. Akupun tersadar dari lamunanku. Aku baru mengetahuai kalau waktu sudah menjelang pagi. Ya Tuhan, aku belum juda tertidur!!!
***
Setelah malam itu berlalu, hari-hariku disibukkan dengan SMS. Tentunya berkirim SMS dengan Mikha. Banyak sekali hal yang telah kami katakan, dari hal yang sangat penting sampai yang begitu bodoh untuk dibicarakan. Kami sama-sama pernah mengungkit mimpi-mimpi kita, tentunya aku semangat sekali membicarakan itu karena aku merasa selalu bermimpi dan tak pernah terbangun. Mimpi, mimpi, dan mimpi, itulah hiduku.
Aku masih ingat ketika gelas pecah menjadi hal yang begitu penting untuk dibicarakan. Itu benar-benar konyol. Tapi hal bodoh seperti itulah yang kami bicarakan ketika kita kehabisan bahan obrolan.
Sering sekali kami lupa waktu; SMS menjadi hal paling penting bagi kami, hingga belajar tak lagi menjadi suatu yang dibutuhkan. Dan salah satu yang penting lagi adalah punya uang untuk membeli pulsa sehinnga aku terus bisa membalas SMS-nya. Kami beda operator, jadi harus mengeluarkan uang lebih.
Bukan hanya saat di SMS saja kami karab. Di kelas pun kami begitu dekat. Bakhan kedekatan kami menjadi topik paling nge-tren. Banyak yang mengira aku dan Mikha sudah jadian, tapi itu tak benar. Dan yang paling aku benci, saat aku dan Mikha menjadi bulan-bulanan saat pelajaran biologi. Kami kerap kali dikejai oleh guru biologi yang terkenal genitnya itu. Misalnya saja kami disuruh maju ke depan kelas berdua untuk ditanyai hal-hal yang tak berhubungan dengan pelajaran. Pernah kami disuruh duduk satu bangku, jelas itu membuat jantungku mau copot. Dan yang terakhir kami disuruh mengerjakan tugas berdua, sedangkan teman sekelas yang lainnya tidak mendapatkan tugas. Ah... benar-benar Mengesalkan!
Bertambahnya hari menjadi minggu dan minggu menjadi bulan, membuat aku dan Mikha begitu dekatnya. Dan ada sesuatu yang merasuk dalam hatiku. Aku kenal dengan perasaan itu. Rasa itu begitu indah utuk diungkapkan. Indah sekali.
Rasa itu adalah cinta. Yah! Itu cinta. Perasaan itu sama dengan yang aku rasakan dulu. Pertama kali aku jatuh cinta ialah pada gadis cantik, berkulit putih, dan tentunya cantik. Namun ternyata aku tak cocok dengannya. Aku selalu kecil hati ketika banyak laki-laki yang dekat dengannya.
Cinta keduaku ialah pada seorang gadis yang cantik, berkulit putih, dan taat beribadah. Namun aku tak merasa bahagia dengannya. Setiap kali kami mengobrol, aku harus mendengar ceramah agama darinya. Aku tak suka diceramahi terus-menerus. Lagi pula aku juga tahu mana yang baik dan mana yang buruk, namun hanya saja susah untuk melakukannya.
Cinta ketigaku ialah pada gadis cantik, tidak terlalu putih, dan sedikit autis. Memang ia selalu membuatku tertawa dengan kelucuan yang ia perbuat. Namun entak kenapa, aku juga jadi ketularan autis. Sejak dengannya aku sering menulis status alay di facebook, me-retweet kata-kata cinta di twitter, dan begitu narsisnya di depan kamera. Karena itu aku selalu jadi bahan bullying di kelas.
Dan cinta keempatku, siapa ya?
Tentu saja Mikha. Setelah berfikir matang-matang. Akhirnya, tepat tanggal 16 januari 2013 jam 13.15 aku menyatakan cintaku padanya lewat pesan facebook.
“Mikha... aku mau ngomong sesutau bolah?”
“Boleh... ngomong ja!” balas Mikha menyakinkanku.
“Tapi kamu janji jangan marah yaaa...” uajrku dengan penyh hati-hati.
“Sejak kapan aku pernah marah? Gak pernah kan?”
Dengan penuh keraguan, aku menulis kalimat yang paling susah untuk diungkapkan. Jemariku bergetar ketika kan menulisnya.
“Mikha kita jadian yuuuk!!!”
Aku sedikit lega telah mengungkapkan perasaanku.
“Hhaaaaaaahhh!!!!???” balas Mikha yang tampak sangat terkejut. Aku sudah dapat memastikan.
“Iya, kita jadian yaaaa. Maaf jika aku jujur!”
“Rama...” Sebutnya.
“Mikha...” Sebutku balik.
“Kamu Cuma becanda kan?”
“Bukannya kamu yang bilang kalau aku orang paling serius. Bagaimana?” Terima gak?”
Setelah mengirim pesan itu, Mikha tak lagi membalasnya. Aku pun tak menyerah begitu saja. Aku mencoba mengirim SMS.
“Mikha... kita jadian yuuk!!!”
Namun percuma juga, dia tak memblasnya. Tanpa lelah aku mengerim ulang kata itu berkali-kali. Tapi tak juga iya menjawab. Aku mencoba menelponnya, tak juga ia angkat. Malam itu aku sebut sebagai hari pertama aku menunggu jawaban cinta dari Mikha dan sekaligus menjadi malam paling paling gelisah dalam hidupku.
Hari kedua...
Pagi harinya, aku ceritakan kejadian itu pada teman sebangkuku, Vino. Rupanya dia bersedia membantuku. Setelah pulang sekolah, aku dan Vino membuntuti Mikha yang pulang bersama temannya naik sepeda. Sedangkan aku dan Mikha membuntuti dengan berboncengan sepeda motor. Tapi itu semua tak membuahkan hasil, Mikha seolah tak menyadari keberadaan kami.
Hari ketiga...
Aku terus berusaha mengirim SMS cinta kepadanya. Aku juga sudah meletakkan surat romantis di tasnya. Aku pun mencoba mendekatinya. Namun semuanya sia-sia. Ia selalu berusaha menjauhiku. Benteng hatinya begitu sulit untuk diterobos. Sungguh begitu sulit. Tak tahu harus bagaimana, akupun mencurahkan perasaanku di status facebook:
“Ditolak atau ditinggalkan itu memang menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi jika kau tak memilih keduanya dan hanya menggantungkan hatiku,.”
Rupanya tak ada respon dari status itu. Aku pun mencoba menulis pesan di dinding facebooknya. Sebuah lagu milik Melly Goeslaw.
“Sampai kapan kau gantung cerita cintaku, memberi harapan.. Hingga nanti kutak sanggup lagi dan meninggalkan dirimu.”
Tak berapa lama setelah itu, ada SMS yang masuk. Aku bengitu senangnya ketika ku tahu itu SMS dari Mikha.
“Rama... aku butuh waktu untuk menjawab. Aku harap kau bisa lebih dewasa.”
“Ini kan sudah tiga hari, apa itu belum cukup?”
“Beri alasan kenapa kamu menyukai aku!”
Aku agak bingung membalasnya. Aku mencoba bertanya pada hatiku terdalam.
“Jika Tuhan menitipkan rasa cinta ini dihatiku, apa aku harus menolaknya. Kamu itu berbeda. Kamu itu special di hatiku. Kamu adsalah satu-satunya orang yang dapat mengerti kau.”
“Rama... aku pasti akan menjawabnya, tapi bukan sekarang!”
Seketika itu aku jadi lelaki yang begitu lemah. Air mataku mulai meleleh. Sakit sekali menghadapi semua ini. Ya Tuhan, berilah aku kekuatan!
Aku tak banyak menutut kepada dunia ini. Tapi entah kenapa banyak orang yang menuntutku. Bahkan ada seseorang yang sangat aku cintai, menuntutku untuk menjadi diriku yang lain. Aku tak menyalahkan itu semua, tapi aku juga tak dapat menerimanya. Itu semua membuat aku menjadi seseorang yang sangat mengutuk dengan yang namanya perasaan.
Perasaan yang paling aku kutuk adalah rasa kehilangan. Rasa itu menjadi yang paling sakit utuk dirasakan dan yang paling susah untuk dihapuskan. Mungkin hanya waktu yang dapat menghapusnya, itu saja jika mampu.
Ada seseorang yang telah mengajarkanku arti dan sakitnya sebuah kehilangan. Walaupun pada awalnya aku tak dapat menerima hal itu, namun pada akhirnya kehilangan mengajarkanku betapa berartinya seseorang dalam hidupku.
Aku masih belum mampu melupakan seseorang itu. Kisahnya berawa ketika suatu malam, ada sebuah SMS dari nomor asing yang masuk ke ponselku.
“Malemmm... udah tidur ya?”
Dengan penuh rasa penasaran aku membalas SMS itu.
“Belum kok!!! Kalo boleh tau ini siapa ya?”
“Ah payah! Masa gak tau? Ya udah lah, kamu gak boleh tau!”
Aku kesal dengan jawabannya.
“Nomer kamu gak ada di kontak HP-ku, ya jadi aku gak mungkin tau kamu siapa.”
Aku menunggu balas dari orang misterius itu. Namun setelah lama menunggu, orang itu tak kunjung membalasnya. Aku mulai berfikir. Layaknya seorang detektif , aku mencoba menerka-nerka nomor tadi. Ternyata itu nomor keluaran produk IM3. Rasanya aku pernah tahu nomer itu.
Tiba-tiba ada sesuatu yang masuk dalam pikiranku. Yah! Itu nomor milik gadis bernama Mikha. Dia dalah teman sekelasku. Seminggu yang lalu aku mendapat nomor itu dari teman sebangkunya, Fahri. Mungkin Fahri berniat mencomblangkan aku dengan temannya yang seumur hidup tak pernah pacaran. Waktu itu Fahri memberiku sepotong kertas yang disitu tertulis nomer ponsel Mikha. Namun sialnya, aku lupa menaruhnya. Dan bodohnya lagi, aku tak meminta kembali kepada Fahri. Aku malu dan tak berani.
Untung saja aku sempat menghafal nomer itu, ya walaupun baru sebentar langsung lupa. Tapi berkat itu, sekarang aku jadi ingat bahwa nomer itu tak asing, tak salah lagi itu kepunyaan Mikha.
Tanpa berpikir panjang, aku kembali mengirim SMS ke nomer tadi.
“Maaf aku baru inget, ini pasti Mikha?”
Tak lama setelah itu, Mikha membalasnya.
“Kok tau? Tau dari mana? Paling minta ke Fahri, iya kan?”
“Tau sendiri donk!!! Rama gitu loh!”
“Terus gue suruh bilang WOW gitu?”
“Bilang aja yang kenceng, kalo perlu pake koprol! Hahaha,” ujarku becanda untuk menghangatkan suasana.
Aku dan Mikha terus bermain SMS. Ternyata Mikha orangnya sangat asyik. Aku kira dia orang yang monoton, ternyata aku salah. Saking ayiknya, aku sampai tak merasa kalau aku sudah SMS-an dengan Mikha selama enam jam tanpa henti. Sementara jam dinding di kamarku menunjukkan puluk 02.00 dini hari.
Baiklah, aku menyerah kepada waktu. Dengan rasa keberatan, aku tak menjawab SMS terakhir dari Mikha. Kalu diteruskan, bisa-bisa kita tidak tidur semalaman.
Sambil berusaha memejamkan mata, aku kembali mengingat kronologi pertemuanku dengan Mikha.
Pertama kali kau melihat Mikha yaitu pada saat kegiatan ekstrakurikuler PMR jumat sore. Waktu itu dia datang terlambat, dan dengan PD-nya dia masuk kebarisan sambil cengengesan. Benar-benar seperti tak tau dosa. Harusnya dia menghadap ke dewan PMR untuk melapor ketidakdisiplinannya itu. Saat aku terlambat saja, aku diberi sanksi berupa lari keliling lapangan lima kali. Lalu dia? Bebas begitu saja? Benar-benar mengesalkan.
Rupanya cerita tentang dia tak berhenti. Aku bertemu dia kembali saat kami sama-sama mengikuti olimpiade pemrograman. Taukah apa yang saat itu aku rasakan? Aku benar-benar tak percaya kalau Mikha ternyata punya kemampuan otak lebih. Berbeda sekali ketika pertama aku melihatnya yang begitu tengil, kali ini dia terlihat berbeda. Dia lebih terlihat kelihaiannya dan sisi kewanitaannya; dewasa dan lembut.
Sejak mengikuti olimpiade itu, aku mulai mengenal dia, dan mungkin juga sebaliknya. Dia begitu ramah padaku tapi aku malah cuek kepadanya. Aku paling malas beramah-ramah palsu. Dan mungkin saja dia hanya berpura-pura ramah padaku, ya seperti kebanyakan orang kalau baru bertemu atau baru kenal.
Seiring berjalannya waktu, membawa aku dan Mikha menempati satu ruang kelas yang sama, kelas sebelas IPA satu. Aku menyebut itu sebagai takdir pertama. Aku percaya kalau tak ada satu hal pun di dunia ini yang kebetulan. Ada banyak sekali hal yang tak terduda kadang terjadi dalam hidupku.
“Kuk... kuruyuuukkkk.....”
Suara ayam yang mengagetkanku. Akupun tersadar dari lamunanku. Aku baru mengetahuai kalau waktu sudah menjelang pagi. Ya Tuhan, aku belum juda tertidur!!!
***
Setelah malam itu berlalu, hari-hariku disibukkan dengan SMS. Tentunya berkirim SMS dengan Mikha. Banyak sekali hal yang telah kami katakan, dari hal yang sangat penting sampai yang begitu bodoh untuk dibicarakan. Kami sama-sama pernah mengungkit mimpi-mimpi kita, tentunya aku semangat sekali membicarakan itu karena aku merasa selalu bermimpi dan tak pernah terbangun. Mimpi, mimpi, dan mimpi, itulah hiduku.
Aku masih ingat ketika gelas pecah menjadi hal yang begitu penting untuk dibicarakan. Itu benar-benar konyol. Tapi hal bodoh seperti itulah yang kami bicarakan ketika kita kehabisan bahan obrolan.
Sering sekali kami lupa waktu; SMS menjadi hal paling penting bagi kami, hingga belajar tak lagi menjadi suatu yang dibutuhkan. Dan salah satu yang penting lagi adalah punya uang untuk membeli pulsa sehinnga aku terus bisa membalas SMS-nya. Kami beda operator, jadi harus mengeluarkan uang lebih.
Bukan hanya saat di SMS saja kami karab. Di kelas pun kami begitu dekat. Bakhan kedekatan kami menjadi topik paling nge-tren. Banyak yang mengira aku dan Mikha sudah jadian, tapi itu tak benar. Dan yang paling aku benci, saat aku dan Mikha menjadi bulan-bulanan saat pelajaran biologi. Kami kerap kali dikejai oleh guru biologi yang terkenal genitnya itu. Misalnya saja kami disuruh maju ke depan kelas berdua untuk ditanyai hal-hal yang tak berhubungan dengan pelajaran. Pernah kami disuruh duduk satu bangku, jelas itu membuat jantungku mau copot. Dan yang terakhir kami disuruh mengerjakan tugas berdua, sedangkan teman sekelas yang lainnya tidak mendapatkan tugas. Ah... benar-benar Mengesalkan!
Bertambahnya hari menjadi minggu dan minggu menjadi bulan, membuat aku dan Mikha begitu dekatnya. Dan ada sesuatu yang merasuk dalam hatiku. Aku kenal dengan perasaan itu. Rasa itu begitu indah utuk diungkapkan. Indah sekali.
Rasa itu adalah cinta. Yah! Itu cinta. Perasaan itu sama dengan yang aku rasakan dulu. Pertama kali aku jatuh cinta ialah pada gadis cantik, berkulit putih, dan tentunya cantik. Namun ternyata aku tak cocok dengannya. Aku selalu kecil hati ketika banyak laki-laki yang dekat dengannya.
Cinta keduaku ialah pada seorang gadis yang cantik, berkulit putih, dan taat beribadah. Namun aku tak merasa bahagia dengannya. Setiap kali kami mengobrol, aku harus mendengar ceramah agama darinya. Aku tak suka diceramahi terus-menerus. Lagi pula aku juga tahu mana yang baik dan mana yang buruk, namun hanya saja susah untuk melakukannya.
Cinta ketigaku ialah pada gadis cantik, tidak terlalu putih, dan sedikit autis. Memang ia selalu membuatku tertawa dengan kelucuan yang ia perbuat. Namun entak kenapa, aku juga jadi ketularan autis. Sejak dengannya aku sering menulis status alay di facebook, me-retweet kata-kata cinta di twitter, dan begitu narsisnya di depan kamera. Karena itu aku selalu jadi bahan bullying di kelas.
Dan cinta keempatku, siapa ya?
Tentu saja Mikha. Setelah berfikir matang-matang. Akhirnya, tepat tanggal 16 januari 2013 jam 13.15 aku menyatakan cintaku padanya lewat pesan facebook.
“Mikha... aku mau ngomong sesutau bolah?”
“Boleh... ngomong ja!” balas Mikha menyakinkanku.
“Tapi kamu janji jangan marah yaaa...” uajrku dengan penyh hati-hati.
“Sejak kapan aku pernah marah? Gak pernah kan?”
Dengan penuh keraguan, aku menulis kalimat yang paling susah untuk diungkapkan. Jemariku bergetar ketika kan menulisnya.
“Mikha kita jadian yuuuk!!!”
Aku sedikit lega telah mengungkapkan perasaanku.
“Hhaaaaaaahhh!!!!???” balas Mikha yang tampak sangat terkejut. Aku sudah dapat memastikan.
“Iya, kita jadian yaaaa. Maaf jika aku jujur!”
“Rama...” Sebutnya.
“Mikha...” Sebutku balik.
“Kamu Cuma becanda kan?”
“Bukannya kamu yang bilang kalau aku orang paling serius. Bagaimana?” Terima gak?”
Setelah mengirim pesan itu, Mikha tak lagi membalasnya. Aku pun tak menyerah begitu saja. Aku mencoba mengirim SMS.
“Mikha... kita jadian yuuk!!!”
Namun percuma juga, dia tak memblasnya. Tanpa lelah aku mengerim ulang kata itu berkali-kali. Tapi tak juga iya menjawab. Aku mencoba menelponnya, tak juga ia angkat. Malam itu aku sebut sebagai hari pertama aku menunggu jawaban cinta dari Mikha dan sekaligus menjadi malam paling paling gelisah dalam hidupku.
Hari kedua...
Pagi harinya, aku ceritakan kejadian itu pada teman sebangkuku, Vino. Rupanya dia bersedia membantuku. Setelah pulang sekolah, aku dan Vino membuntuti Mikha yang pulang bersama temannya naik sepeda. Sedangkan aku dan Mikha membuntuti dengan berboncengan sepeda motor. Tapi itu semua tak membuahkan hasil, Mikha seolah tak menyadari keberadaan kami.
Hari ketiga...
Aku terus berusaha mengirim SMS cinta kepadanya. Aku juga sudah meletakkan surat romantis di tasnya. Aku pun mencoba mendekatinya. Namun semuanya sia-sia. Ia selalu berusaha menjauhiku. Benteng hatinya begitu sulit untuk diterobos. Sungguh begitu sulit. Tak tahu harus bagaimana, akupun mencurahkan perasaanku di status facebook:
“Ditolak atau ditinggalkan itu memang menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi jika kau tak memilih keduanya dan hanya menggantungkan hatiku,.”
Rupanya tak ada respon dari status itu. Aku pun mencoba menulis pesan di dinding facebooknya. Sebuah lagu milik Melly Goeslaw.
“Sampai kapan kau gantung cerita cintaku, memberi harapan.. Hingga nanti kutak sanggup lagi dan meninggalkan dirimu.”
Tak berapa lama setelah itu, ada SMS yang masuk. Aku bengitu senangnya ketika ku tahu itu SMS dari Mikha.
“Rama... aku butuh waktu untuk menjawab. Aku harap kau bisa lebih dewasa.”
“Ini kan sudah tiga hari, apa itu belum cukup?”
“Beri alasan kenapa kamu menyukai aku!”
Aku agak bingung membalasnya. Aku mencoba bertanya pada hatiku terdalam.
“Jika Tuhan menitipkan rasa cinta ini dihatiku, apa aku harus menolaknya. Kamu itu berbeda. Kamu itu special di hatiku. Kamu adsalah satu-satunya orang yang dapat mengerti kau.”
“Rama... aku pasti akan menjawabnya, tapi bukan sekarang!”
Seketika itu aku jadi lelaki yang begitu lemah. Air mataku mulai meleleh. Sakit sekali menghadapi semua ini. Ya Tuhan, berilah aku kekuatan!
Hari Keempat
Sepulang sekolah aku benar-benar dalam keadaan frustasi. Aku tak berhasil mencegat Mikha pulang. Entah kenapa hari ini dia cepet-cepat bergegas pulang mungkin dia tak mau bertemu denganku. Tak mau bertegur sapa denganku. Tak mau melihatku walau sedetik pun.
Seperti biasa, aku berjalan kaki untuk pulang kerumah. Tak seperti biasanya jika aku pulang lewat jalan raya, kali ini aku melewati jalan setapak. aku sedang ingin kesepian. Aku ingin sendiri tanpa ada satupun yang mengganggu.
Kaki kecilku terus berjalan. Dan tiba-tiba berhenti seketika menatap seorang laki-laki dan seorang perempuan tengah bermesraan.
"Vino??!" Seruku.
Mereka berdua menatapku terkejut.
"Mikha??!"
Mereka sangat gugup.
"Jadi...."
Aku langsung lari dari tempat itu. Jadi selama ini sahabatku mempunyai hubungan khusus dengan orang yang aku cintai. Jadi Mikha tak mau menjawab ajakanku karena dia sudah milik sahabatku. Jadi selama ini aku dipermainkan???
Hari Kelima
Paginya aku mengambil tempat duduk yang kosong. aku tak mau lagi duduk dengan bajingan seperti Vino. Aku duduk sendirian. Aku memang menginginkan kesendirian. Aku tak percaya lagi dengan semua orang. Sama sekali tak percaya.
Hati masih sakit. Sakit sekali. Dua orang itu benar-benar brengsek. Kejam. Kenapa mereka tak jujur dari awal. Kenapa harus aku sendiri yang tahu???
Aku memang bodoh! Kenapa aku merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah ku miliki? Kenapa aku harus merasa kehilangan Mikha? Siapa dia dan siapa aku? Teman, bukan. Kekasih, apalagi. Tapi kenapa aku begitu bodoh???
Baik lah aku mengaku. Mikha memang sanagt berarti bagiku. aku takan pernah melupakan ini. Takan pernah sedikitpun.
***
Eh, ngomong-ngomong Fahri itu cantik juga ya!!!
Tamat. . .