Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)

Lagi-lagi hatiku berada di persimpangan. Tak tahu harus mundur atau bertahan. Bila mundur aku takut kehilangan. Dan bila bertahan aku takut masuk dalam kesesatan. Kadang semuanya terlihat gelap. Menutupi hati-hati yang lelap. Lalu perlahan berubah jadi senyap, kemudian kembali lagi jadi gelap. Tak ada yang terang. Tak ada yang pasti. Semuanya tersenyum menjadi rahasia illahi.

Mungkin inilah hidup sebenarnya. Bukan dongeng yang selalu berakhir bahagia. Karena hidup adalah realitas yang harus kita terima. Dan pada akhirnya kita akan mengerti mana yang realita dan mana yang Cuma dongng belaka.

Selama aku hidup aku belajar bagaimana memilih bertahan atau memilih meninggalkan. Dan kali ini hatiku telah memilih. Mungkin karena hatiku ditakdirkan hanya untuk merasakan luka bukan untuk merasakan bahagia. Akupun berusaha menerimanya walau itu sangat menyiksa.

Sedangkan Nanda yang berada di depanku terus terdiam.  Mungkin ia menanti pilihan dan jawaban dari diriku.

“Surya...” sapa Nanda, “jika kamu memang tak bisa menjawab, aku akan menunggu seberapa lamapun itu. Dan jika kamu memilih meninggalkan...” Nanda menghentikan perkatannya sejenak,”kita akan tetap bertemu di surga kan?” tutur kata Nanda yang begitu memilukan. Tampaknya ia sudah sangat-sangat tertekan.

Aku tak menjawab pertanyaan Nanda itu. Sungguh semua itu telah membuatku begitu hancur. Hancur berserak-serakan.

“Sur, aku akan berdiri disini menunggumu menjawab semua tanya ini walau sampai umurku berakhir.” Nanda kembali berucap kata yang membuatku hantuk berserak-serakan menjadi lebih tak beraturan.

Aku menghela nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan.”Nan... asal kamu tahu, aku telah diusir ayahku dari rumah hanya untuk menemuimu malam ini. Tapi tak sedikitpun aku merasa berkorban karena benar hatiku mencintaimu setulusnya.” Ucapku perlahan. “Tapi mungkin kali ini Tuhan berkehebdak lain, hati kita bukan untuk dipersatukan tapi untuk mengerti apa arti kehilangan.”

Tak tahu kenapa aku merasa lemah seperti ini. Tak tahu kenapa aku tega melihat Nanda terus menerus menangis di depanku.

“Tapi kenapa Tuhan mempertemukan kita kembali setelah bertahun-tahun berpisah?” tanya Nanda dengan nada lebih tinggi dari sebelumya. Mungkin ia mulai kesal dan lelah dengan semua ini.

“Aku juga tak mengerti. Mungkin hanya Tuhan yang tahu.” Jawabku dengan penuh ketidak tahuan. “Aku tak mau menyakiti orang-orang disekitarku. Orang-orang yang aku sayangi sebelum kamu. Aku tak rela kehilangan adikku, kakakku, ibuku, dan juga ayahku hanya demi orang lain yang aku cintai, walau itu kamu.”

Kini air mata Nanda mengalir lebih deras. Aku merasa bersalah besar kepadanya. Tapi menututku inilah jalan terbaik.

Tak lama kemudian, aku lalu melepas gelang yang dulu sempat aku berikan kepada Nanda. Gelang yang aku rangkai sendiri sewaktu masa kecilku.

“Aku tak dapat memberikan diriku sepenuhny untukmu. Tapi gelang ini adalah duniaku. Dan sekarang duniaku ini aku serahkan kepadamu.” Tuturku kepada Nanda. Kini aku benar-benar tak dapat menahan lagi kesedihanku.

Aku lalu memakaikan gelang itu kepada Nanda di tangan kanannya. Dulu aku pernah memakaikannya di tangan kirinya. Aku ingin kedua tangan Nanda merasakan duniaku.

Setelah selesai memakaikannya, aku lantas melepas kedua tanganku dari gelang itu.

“Surya...” sapa dia kembali seolah tak mau jika aku pergi darinya. “Jika ini menurutmu yang paling baik, aku akan mencoba menerimanya walau rasanya sakit sekali. Namun jika suatu saat kamu merasa memilih jalan yang salah, aku akan dengan lapang hati menerimamu kembali.” Ucap Nanda seperti yang dulu ia tulis dalam surat perpisahan kami untuk pertama kali.

Aku tak menjawab itu. Aku langsung membalikan badanku lalu berjalan menjauh dari Nanda. Hatiku benar-benar terombang-anbing. Layaknya sebuah daun di atas air sungai yang hanya bisa mengikuti kemana arus akan membawanya pergi. Entah itu ke laut, ke danau, atau tetap berhenti.

Dan sekali lagi aku merasakan sakitnya kehilangan orang yang sama dalam hidupku kembali.

***

Duniaku kini lelah banyak berubah. Entah siapa yang memulainya untuk berubah, lingkunganku atau diriku sendiri. Mungkin memang harus seperti ini. Mungkin ini jalan yang terbaik. Meski semua ini kelihatannya baik-baik saja, aku sering kali merasa tersesat. Semoga ada cahaya, petunjuk jalan, atau apa saja yang bisa membuatku keluar dari masalah ini. Seperti aliran air, dari manapun itu pasti akan berakhir ke laut.

Sudah 5 hari aku menginap di rumah Farrel, sahabat Sdku yang sangat berbaik hati. Dan pagi ini juga aku akan kembali ke rumah, pasti ayah dan ibuku sudah sangat khawatir. Aku ingin meminta maaf pada ayah karena sudah menentangnya. Aku berjanji, setelah ini aku akan menuruti segala kemaunnya.

Ini masih pagi-pagi sekali. Aku melihat banyak anak-anak SD ingin pergi kesekolah. Sementara itu anak-anak jalanan mulai melancarkan aksinya dengan membawa ukulele, dia menungu bus untuk mengamen di dalamnya. Dan para ibu pun menunggu angkutan untuk membawanya pergi berbelanja di pasar. Pagi-pagi yang sangat riuh.



Aku berdiri dekat dengan perempatan jalan ini. Dari tempatku berada aku dapat melihat supir-supir yang tengah kesal karena jalanan macet dan lampu merah yang begitu lama. Dari tempatku berada, aku juga dapat melihat para anak SD yang masih ketakutan untuk menyebrang jalan.

Sementara itu aku melihat gerak-gerik salah satu anak jalanan. Kira-kira dia berumur 12 tahun. Rupanya dia mendekati seorang anak perempuan yang kira-kira kelas 6 SD yang dari tadi tidak menyeberang jalan. Mungkin gadis kecil itu takut menyebrang.

Gadis kecil itu menoleh ke anak jalanan yang sedang mendekatinya. Ia tersenyum kepadanya. Mungkin mereka telah saling mengenal atau anak SD itu selalu menunggu akan jalana itu untuk membantunya menyeberang. Ah entahlah.

Anak jalanan itu berhenti dengan berdiri dekat gadis kecil itu. Dekat sekali. Anak jalanan itu tidak berkata sedikitpun. Saat jalan sepi dengan kendaraan, anak jalanan itu menyeberang lalu di ikuti gadis SD itu sampang seberang jalan. Uh so sweet sekali.

Tak lama. Anak jalanan itu segera meninggalkan gadis kecil itu.

Gadi kecil itu berteriak,”Hey tunngu, siapa nana kamu?”

Anak jalanan itu tak memperdulikan, ia tetap berjalan.

“Hey kamu... terimakasi atas bantuannya.” Suru gadis SD kembali.

Anak jalanan itu menoleh lalu memberikan matanya yang misterius.

Sebenarnya apa yang terjadi? Aku berharap anak SD itu dapat selalu bersama anak jalanan yang baik hati itu.

tiba-tiba ada sesuatu yang merasuki jiwaku. yah! aku baru menyadari kalau aku masih bisa kembali dekat dengan Nanda tapi hanya sebatas teman. Tidak lebih. Dengan itu aku tak menyakiti orang-orang disekitarku, terutama ayah.

Aku melihat pada persimpangan jalan ini. Kali ini akua akan terus berjalan walau banyak persimpangan yang harus aku lalui, walau begitu banya rintangan yang menghadangku di depan sana. Yah! Inilah janjiku pada persimpangan di sampingku itu.

“Turit... turit...” suara SMS yang datang ke ponselku. Aku pu mengambil ponselku dari saku jeansku. Sebuah SMS dari Bagas Daniel.

Surya, tadi malam perumahan kita dilanda banjir bandang. Banjir itu datang dengan begitu pada saat dini hari sehinnga banyak warga yang tak sempat menyelamatkan diri. Dan kini ibumu, ayahmu, adikmu, dan kakakmu yang sedang hamil itu ada di rumah sakit. Cepat datang. Tadi Nanda yang mengabarkan. Ia dan para karyawan LSM lainnya telah menolong semua keluargamu.

Tiba-tiba rasa takut menghampiri hatiku. Semoga ini hanya firasatku saja.

***


Sesampainya di rumah sakit. Aku langsung mencari dimana keluargaku dirawat. Kata suster runag tempat ayahku di rawat ada di di kamar 19 di lantai 2. Aku pun langsung menaiki tangga dengan berlari cepat-cepat.

Setelah sampai lantai 2 mataku terus mencari-cari kamar nomor 19. Namun belum sampai kamar itu kutemukan, aku melihat sosok ayah yang tengan duduk lemah. Kakinya dibungkus pembalus plester, mungkin kakinya terluka.

Aku mendekati ayahku pelan-pelan. Ayah pun memandangiku. Tanpa berfikir apaun aku langsung memeluk erat-erat tubuh ayah sambil menangis menyesal.

“Ayah... maafin surya. Kemarin-kemarin Surya telah menentang ayah.” Ucapku berhenti karena tersendak tangisku.”ayah... Surya janji setelah ini Surya akan turuti semua kemauan ayah. Dan saat ini Surya telah memutus hubungan dengan Nanda, seperti kemauan ayah...”

Ayahku mengelus-ngelus rambutku. Suadah lama sekali aku tak mersakan kasih sayang seorang ayah sebegitu dalamnya seperti ini.

Tanpa berkata sedikitpun, ayah mencium rambutku dengan lembut sekali. Hati merasakan kedamaian yang begitu indahnya.

“Surya... ayah...” sery ibu yang berjalan mendekati kami. Aku pun melepas pelukanku dari ayahku yang tubuh dan bajunya masih basah kuyup.

“Ibu...” Ucapku. Aku langsung berdiri lalu memeluk erat-erat ibu.

“Ibu... Surya sayang sekali sama ibu. Surya mencinta ibu karena Allah.”

“Ibu juga sayang sama surya. Sayang sekali. Ibu juga mencintai surya karena Allah. Ibu tak mau kehilangan Surya lagi. Jangan tinggalkan ibu lagi ya...” tutur ibuku merintih haru.

“Tante...” seru seorang wanita kepada ibuku.

Aku melepas pelukan ibuku lalu menghadap kepada wanita itu. Ternya wanita itu adalah Nanda. Kali ini dia terlihat berbeda sekali. Mukanya kusam dan begitu dekil, mungkin itu kareana dia bersusah payah menolong korban banjir. Ia pun memakai jas pelampung bagai pahlawan bagi kuluargaku.

“Tante... cucunya suda lahir. Dia laki-laki. Ia tampan sekali. Semoga dia jadi anak yang kuat.” Jelas Nanda kepada ibuku.

Ibuku mendekati Nanda. Ibu berhenti tepat didepan Nanda. Kemudian ibu mengelus-ngelu pipi Nanda dengan tangan kananya. Ibuku solah begitu sayang kepada Nanda.

“Terimakasih ya nak, kamu sudah susah payah menolong kami.”

“Bukan saya tapi Tuhan yang menolong ibu sekeluarga.” Ucap Nanda merendahkan diri. Dia sungguh menawan dan begitu manis mengucap kata-kata itu.

Ibuku tersenyum padanya. Lalu melepas tangannya dari pipi Nanda.

“Tante, saya harus permisi dulu. Masih banayk pekerjaan yang harus saya selesaikan di lokasi.” Pinta Nanda.

“Iya nak, hati-hati. Jaga dirimu baik-baik.” Nasehat ibu pada Nanda. Lagi-lagi penuh kasih sayang.

Nanda mengangukan kepala. “assalamu’alaikum.” Ucap salam dari Nanda. Suatu ucapan yang sangat manis dari bibirnya.

“Wa’alaikumsalam.” Jawab aku bersamaan dengan ibu.

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Ucap ayahku yang terlihat sangat tulus. Aku sampai tak percaya.

Nanda pun melangkahkan kakinya menjauh.

“Nan...” seruku.

Nanda pun menoleh.

“Nku tunggu kamu di pasar malam nanti.” Pintaku.

Nanda hanya mengangguk. Lalu pergi meninggalkan kami. Rasanya aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakan orang sebaik dia.

***


Tiba-tiba hariku berubah menjadi puisi. Layaknya semilir angin di pagi hari, meriang jika siang lalu pecah serupa ombak-ombak pasang kalau malam. Tiba-tiba pula jiwaku seolah berubah bagai puisi yang telah seseorang tuliskan, bagai nyanyian yang dilantunkan, bagai senyuman yang disunggingkan, bagai padang yang di kerlingkan, dan seperti cinta yang diberikan. Tapi aku tak pernah, tak pernah merasa cukup.

Malam ini aku bersiap-siap dalam kamarku ini untuk ke pasar malam. Aku ingin memperbaiki kembali hubunganku dengan Nanda. Namn kali ini hanya sebatas  teman. Walaupun aku telah mengalami demikian banyak hal besar dalam hidupku karena cinta dan Nanda, namun malam ini kau tak sampai bisa menggambarkan perasaanku. Aku dilanda cemas yang tak terjelaskan.

Ketika kau melangkahkan kakiku, tiba-tiba ayahku datang.

Dengan segera ia berkata,”Srya, anakku. Asal kamu tahu saja, hati yah ini bukan terbuat dari batu. Kadang hati ayah juga dapat luruh seperti manausia lain..”

Ayah menghentikan bicaranya. Sedangkan aku hanya terdiam bingung.

“ayah selamanya tak akan pernah menyetujui hubungan kamu dengan Nanda. Ucap ayah dengan nada aneh seolah ia tak merasa marah.”Tapi apapun pilihan kamu, kamu tetap anak ayah. Dan selamanya amu tetap akan jadi anak ayah.”

Tiba-tiba dunia baru seolah mendatangiku. Yah! Aku merubah pikirankukepada Nanda. Aku takkan pernah membuat dia menjadi teman biasa.

“Pergilah dan temui Nanda jika itu keinginanmu.” Saran ayahku.

Aku pun langsung berjalan pelan keluar kamar. Aku menoleh kepada ayahku lalu tersenyum tulus. Aku tahu ayahku sangat sayang padaku.

***

Aku telah sampai di tempat pasar malam diadakan. Namun lapangan dengan padang bulan ini telah kosong ketika aku tiba. Pasar malam telah redup, komedi putar tak lagi berputar. Lampu-lampu telah dimatikan. Yang terdengar hanya suara angin yang menerpa.

Di tengan hamparan ilalang, Nanda berdiri sendirian menungguku. Aku telah datang dengan sangat telat.

Kami hanya diam.

Aku menatap mata Nanda dalam-dalam. Ia melihatku dengan cra bahwa ia tahu aku tak mungkin kehilangan dirinya. Dan ia tahu bahwa dalam matanya itu, aku telah menemukan diriku sendiri, seorang lain yang pula telah kucari-cari sepanjang hidupku. Sekarang aku sampai pada satu titik pemahaman bahwa dari seluruh  lika-liku hidupku, untuk perempuan inilah aku dilahirkan.

Nanda menutup matanya, mungkin ia tahu apa yang telah terjadi. Ia bersimpuh dan memeluk lututnya. Lalu tangannya dengan kuat meremas ilalang tajam. Seakan tak ia rasakan darah mengucur di telapaknya. Ia menarik putus kalung salibnya.

Ku katakan padanya bahwa aku tak akan  menyerah pada apa pun untuknya.

Perlahan awan kelabu di langit turun menjadi titik-titik gerimis. Butirannya yang lembut menyelimuti tubuh kami. Aku membaringkan butuhku, lalu diikuti oleh Nanda. Kali ini hujan lebat mengguyur tubuh kami berdua.

TAMAT


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -