- Back to Home »
- SERIAL »
- Cerbung: Saat Hati dalam Persimpangan (part 2)
Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)
Aku tak mengerti bagaimana seseorang akan mengenangku menjadi orang yang istimewa di hatinya, menjadi sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan menjadi mimpi indah di setiap tidur lelapnya. Aku juga tak mengerti bagaimana cara aku mengenang suatu momen berharga dalam hidupku, mengenang seseorang yang selalu menemaniku, dan mengabadikan nama orang termanis dalam hidupku. Aku selalu bertanya-tanya, akankah aku akan selalu dikenang? Atau menjadi orang yang terlupakan? Ah… hanya waktu yang dapat menjawab semua tanyaku.
Aku pernah menghitung satu persatu bintang di langit, namun hanya keputusasaanlah yang ku dapat. Aku juga pernah menjumlah denyut nadi disetiap helaan nafasku, namun hanya kelelahan yang dapat mengetahui jumlahnya. Keputusasaan dan kelelahanlah yang kali ini merasuk dalam diriku. Bimbang di hatiku tak pernah kunjung membaik. Dan hari dimana sekolah SDku menyelenggarakan acara perpisahan sekolah adalah hari dimana hati mencapai kebimbangan yang klimaks.
Hati itu akan tak berselera untuk menghadiri acara perpisahan. Namun bagaimana lagi? Mungkin hari itu akan menjadi momen terakhirku bertemu dengan Nanda karena sore setelah itu aku harus berangkan ke stasiun Bekasi untuk lama di kampung halaman. Tak terbayang seberapa lama aku disana, mungkin aku akan membusuk di pesantren. Membusuk tanpa pernah ada yang tahu.
Aku pun terpaksa berangkat menghadiri acara dengan hati yang sangat berat. Kali itu ibuku pun ikut berangkat menghadiri acara tersebut. Tak seperti bisanya kalau aku berangkat sekolah pasti di antarkan ayah, namun kali ini kau naik angkutan kota bersama ibu.
Ah… waktu rasanya cepat sekali berlalu. Seketika aku telah sampai di sekolahku dan acara sudah dimulai. Mataku terus mencari-cari Nanda diantara ratusan orang disitu. Rasanya sia-sia tetap menjadi kesia-siaan sehingga aku tak berhasil menemukan sosok Nanda. Akankah kari terakhir ini, aku tidak bertemu Nanda? Akankah peristiwa menyedihkan hari kemarin akan menjadi akhir dari kisah ini? Semoga tidak seperti itu jadinya.
Aku terus duduk di barisan paling belakang dengan hati penuh kegelisahan. Aku harap dengan tempatku disini aku dapat melihat semuanya, semua orang yang merasa bersuka cita atau berduka cita seperti aku. Namun tiba-tiba aku terpaku melihat sesosok gadis kecil naik ke panggung. Yah itu Nanda! Rupanya dia akan membacakan sebuah puisi.
“Selamat siang semuanya, perkenankanlah saya untuk membacakan sebuah puisi untuk kakak-kakak tercinta.” Sapa Nanda yang keras karena menggunakan Mic yang terletak di depannya.
Aku merasa penasaran dengan puisi seperti apa yang akan dibawakan oleh peri kecilku itu. Aku rasa dia adalah orang termanis diantara ratusan kerumunan manusia yang berkumpul di acara ini. Rupanya Nanda segera memulia membawakan puisinya.
Untuk Kakak Tercinta dan Rumput ilalang
Perpisahan begitu dekat dengan kita
Hingga menggoreskan seribu luka di dada
Dan menyapu setiap kisah yang ada
Namun rumput ilalang tertawa disana
Kakak, adik begitu merasa kehilangan
Layaknya saudagar kehilangan berlian
Lalu perpisahan membutuhkan belaian
Dan rumput ilalang tertawa kegirangan
Kakak, adik takkan melupakan
Setiap kisah yang jadi kenangan
Setipa tawa yang jadi kebahagiaan
Dan setipa tangis yang kesedihan
Akankah rumput ilalng masih tertawa?
Menganggap ini hanya canda
Sekali-kali tidak! Kaka’
Kau selalu jadi pelipur lara
Lalu rumput ilalang hanya bisa berdiri
Dan kakak, akan selalu dihati
Selamat jalan kakak yang berdikari
Semoga kita dipertemukan nanti
Aku hany terpaku terdiam mendengar sajak-sajak yang begitu syahdu dari ucapan seorang peri dalam hidupku. Hatiku begitu ingin menangis namun keegoisan tlah melarangnya. Setelah puisi dibacakan semua orang lantas berdiri dan bertepuk tangan untuk mengapresiasi kepada puisi yang dibacakan Nanda barusan.
Mata Nanda begitu berkaca-kaca seolah ingin pecah. Tanpa ada penutup, ia langsung berlari cepat turun panggung. Ada apa gerangan? Apakah puisi indah tadi tak membanggakan dirinya? Namun aku rasa ia begitu menghayati puisinya hingga membuatnya begitu terluka. Terluka karena apa? Karena puisinya? Karena kakak kelasnya yang telah lulus? Atau karena kahilangan aku? Lucu kalau dia sampai merasa kehilangan aku.
Tak lama berselang setelah itu, pembawa acara membacakan peringkat kelas hanya untuk kelas 6 SD, yah! Itu kelasku. Akankah aku akan jadi peringkat pertama seperti dulu-dulu?
“Dan peringkat pertama adalah….” Seru pembawa acara yang sangat membuatku penasaran.
“Suryaaaa Raditya.” Seru pembawa acara kembali dengan menyebut namaku. Ternyata aku kembali jadi peringkat pertama.
Kemudian aku maju dan naik panggung bersama dua temanku yang mendapatkan peringkat dibawahku. Aku menerima trofi dan sebuah piagam. Namun aku tak begitu bahagia karena aku tak melihat Nanda. Aku ingin Nanda menyaksikan kalau aku dapat jadi peringkat pertama lagi. Ini semua kan berkat dia yang sering mengajakku belajar bersama dan selalu memaksaku untuk mengajari pelajarannya yang aku sendiri juga tak bisa. Namun aku selalu bersemangat mengajarinya sekuat yang aku mampu hingga ia bisa.
Mataku terus mencari-cari keberadaan Nanda. Kemanakah dia barusan tadi? Secepat itukah dia menghilang? Tak inginkah dia melihatku untuk terakhir kalinya? Aku selalu berharap semoga dia melihatku.
Ratusan pasang mata melihat serius kepadaku. Diantara itu ada seseorang yang maju kedepan hingga dia berhenti di barisan paling depan sedangkan yang lainnya duduk. Aku senang sekali ternyata dia adalah Nanda. Dia menghadap kepadaku, sedikit demi sedikit senyumannya mengembang kepadaku. Lalu dia melambaikan tangan kanannya kepadaku. Aku pun membalas senyuman dan lambaian tangannya itu. Oh Tuhan, ini indah sekali.
***
Hatiku benar-benar berada dalam sebuah persimpangan. Mungkin setelah lulus SD, aku sudah dikatakan bukan anak-anak lagi. Orang tuaku benar-benar tega akan meninggalkan aku begitu saja di pesantren. Layaknya manusia yang tak tahu jalan kemudian menemukan persimpangan, pasti ia akan berjalan mengikuti kemana angin akan membawanya. Begitu juga denganku. Aku akan berserah diri pada Tuhanku, Allah yang selalu akan memberikan jalan terbaik bagi hambanya. Mungkin sudah saatnya aku harus menjadi dewasa.
Cinta adalah satu hal lagi yang membuatku berat meninggalkan segalanya, segala yang tlah aku miliki. Cinta itu tak pernah mengerti keadaanku, untuk pertama kalinya cinta datang pada waktu yang tidak tepat. Tapi apa daya, apapun itu, cinta sudah banyak memberiku kebahagiaan. Mungkin aku saja yang telah kufur nikmat sehingga menyalahkan cinta atas derita yang tengah aku alami. Aku tak tahu siapa yang harus dipersalahkan, namun aku tahu Tuhan tak pernah salah sedikitpun. Aku tahu Dia selalu mengasihi hamba-hambanya.
Satu jam lagi aku harus berangkat ke stasiun, padahal tadi pagi baru saja aku merasakan bahagia. Selalu saja seperti itu, kesedihan selalu datang menggantikan suatu kebahagiaan. Lalu setelah itu kebahagiaan akan menindas kejam kesedihan. Rasanya sadis bila aku gambarkan semua itu.
Aku sudah siap segalanya untuk berangkat ke stasiun kecuali hatiku. Hati ini belum siap sama sekali. Lama sekali rasanya aku duduk di teras depan rumah namun hanya keheningan dan kesunyian yang aku dapat. Tanpa aku sadari ternya Nanda tlah berdiri di depan aku yang tengah duduk. Aku pun lantas berdiri menghadap Nanda dengan muka penuh Tanya.
“Nanda… kamu…”
“Aku cuma mau kasih surat ini.” Ucap Nanda yang memotong perkataanku sambil menunjukan sebuah kertas merah muda di tangan kanannya.
“Surat apa itu?”
“Kamu bisa liat sendiri , tapi aku mau kalau kamu membuka saat kamu sudah menaiki kereta.” Ucap Nanda yang terdengar sedih. Mungkin dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan kesedihannya.
“Memangnya kenapa?”
“Itu permintaan terakhirku, dan aku harap kamu memenuhinya.”
Aku tak kuasa lagi, spontan aku langsung memeluk tubuh Nanda. Aku sama sekali tak ingin kehilangan dirinya. Dirinya yang begitu aku cintai. Namun itu tak lama, aku lantas melepaskannya dan aku melihat air mata mengalir dari mata peri itu.
“Nan, jangan menangis ya…”
Iya tak menjawab namun ia memberikan suratnya itu padaku. Kemudian dengan cepat ia membalikan tubuhnya dan lari dengan begitu cepatnya. Aku tak mengejar kerena ada suatu rasa yang menahanku. Sekejab mata saja Nanda lenyap dari penglihatanku. Akankah ini akan jadi kisah terakhirku bersama Nanda?
Mungkin ini sudah cukup bagiku, dari kecil waktu di kampung halaman aku sudah dekat dengaanya. Hingga kinipun aku masih dekat dengannya. Entah sampai kapan aku akan dekat dengannya. Aku serahkan semuanya pada-Mu, tuhanku…
Bersambung . . .