Nanda Priskilla (kecil)

Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)

Masih teringat jelas di sanubariku, sebuah peristiwa yang tak pernah berlalu. Aku bagai tubuh yang dilekati benalu, yang tak ingin tersapu. Hmmm… aku ingin ke hulu, mencari serpihan kisah masa lalu. Walau itu telah lalu, walau itu termakan waktu, tapi tunggu aku dulu, aku akan tetap menunggu, menunggu setiap kehadiranmu, kehadiranmu yang penuh lika-liku.

Waktu telah merubah aku menjadi manusia yang lain. Namun tak pernah merubah hatiku untuk orang lain. Hatiku hanya untuk dia, seorang perempuan kecil yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi periku. Huft… aku rasa semua ini gila! Tapi bukankah cinta itu gila? Atau orangnya yang gila karena cinta? Ah… entahlah.

Sudah tiga tahun lamanya aku tak bertegur sapa dengan perempuan kecil bernama Nanda Priskilla. Dia adalah adik kelasku waktu SD, tapi mungkin jauh lebih dari sekedar adik kelas. Rumah kami berdekatan, hanya beberapa langkah saja dari rumahku. Sejak kecil, tapi mungkin lebih kecil dari yang kubayangkan, aku selalu bermain dengannya. Maklum, waktu itu kami baru pindahan dari luar kota yang sama ke perumahan baru yang sama pula. Kebanyakan orang yang pindah ke perumahan tersebut adalah orang-orang muda dan yang baru menikah. Aku dan Nanda merupakan anak yang terbesar dari anak-anak yang lain waktu itu. Kami sama-sama tak punya teman yang sebaya di rumah sehingga kemanapun setiap saat kami selalu bersama.

Danau yang lumayan jauh dari rumah kami merupakan tempat favorit kami berdua. Hampir setiap minggu kami kesana. Kami berdua suka air dan kami berdua juga suka naik sampan (perahu kecil). Nanda itu tidak bisa berenang. Pernah suatu hari sampan kami bocor dan akhirnya kamu berdua tenggelam di tengah danau. Untung saja ada beberapa orang yang cepat menolong kami sehingga kami selamat. Aku tersadar terlebih dahulu dari Nanda sehingga membuat aku begitu merasa sedih melihatnya tak kunjung tersadar. Aku sampai menangis histeris waktu itu. Huuu… sungguh memalukan.

Seiring berjalannya waktu, sesuatu yang tak pernah kurasakan hadir dalam hatiku. Sesuatu yang berbeda itu muncul sejak aku menginjak bangku kelas 6 SD dan Nanda kelas 5 SD. Dulu aku tak dapat menjabarkan apa yang sedang kurasa. Aku selalu bertanya-tanya, apakah ini cinta? Cintakah aku pada teman semenjak kecilku itu?

Rasa itu membutuhkan waktu lama untuk dapat dipastikan. Aku mulai mengerti apa itu cinta. Namun aku juga mulai mengerti apa itu perbedaan. Risau dan bimbang selalu menghantui setiap malam-malamku, tapi cinta menghapus rasa itu di setiap paginya. Sampai suatu hari saat aku hampir melepas seragam merah putihku, ayahku terkena PHK dari perusahannya. Bukan hanya itu, ayahku juga berinisiatif untuk memasukan aku ke pesantren di desa nenekku. Sedih rasanya aku mendengar semua itu, mentari seolah padam, bumi seolah retak, langit bagai ingin runtuh, sedangkan hatiku hancur berkeping-keping.

Perasaanku semakin kacau ketika rasa cinta mendesak untuk disampaikan sedangkan lidahku tak mampu untuk mengungkapkannya. Aku tak pernah menyangka kalau cinta akan serumit ini. Mungkin ini semua akan menjadi tak rumit jika aku berani mengungkapkannya kepada Nanda. Namun setiap kulihat tatapan matanya, kata-kata langsung hancur berserakan hingga membuatku tak berkutik sedikitpun.

Pada akhirnya tanpa pernah aku mengatakan sendiri, Nanda pun tahu kalau aku akan pindah ke luar kota. Mungkin ini yang disebut kabar burung. Apa iya Nanda juga merasakan apa yang aku rasakan? Sebuah rasa yang memberi seribu luka di dada. Sakit sekali.

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan di setiap perpisahan ada rasa kehilangan yang amat mendalam. Rasa yang tak diinginkan oleh setiap insan, begitu juga aku. Selama aku hidup sebelum ini, aku tak pernah kehilangan orang yang aku sayangi. Namun rasa ini seolah akan menjadi petaka dalam hidupku. Hanya tinggal menghitung waktu sebentar saja, aku akan kehilangan semua orang yang aku sayangi. Bagaimana nantinya hidupku di pesantren? Aku takut sekali.

Suatu hari di ujung kehidupan lamaku, aku melepas kegundahan akan hidup di tepi danau yang biasanya aku dan Nanda bermain di hari minggu, tepatnya setelah Nanda menjalani kebaktian minggu pagi di gereja katolik. Kala itu aku tak mengajak Nanda karena aku ingin sendiri, ingin menjauh dari keramaian dunia. Tak dapat digambarkan betapa sedihnya aku kala itu.

Tak lama aku merenung di tepi danau itu, aku melihat gadis kecil yang menaiki sampan yang bisanya aku dan Nanda naiki. Aku terkejut, ketika yang kulihat adalah Nanda. Untuk apa dia disana sendirian?

“Nandaaaa…” Terik sekenjang yang aku bisa.

Tampaknya Nanda terkejut, mungkin ia tak menyangka bahwa aku ada di tempat itu.

“Suryaaaa… tolong lemparkan tali kepadaku. Aku tak bisa menepi.” Teriak Nanda memerintah sesuatu kepadaku.

Aku bingung akan mencari tali yang panjang dimana. Namun keberuntungan tampaknya menyertaiku, yah! Ada tali tak jauh dari tempatku berdiri. Aku lantas mengambil tali itu, lalu melemparnya sekuat tenaga agar tali tersebut dapat sampai ke tangan Nanda.

Akhirnya tali itu sampai di tangan Nanda, lalu Nanda kembali berteriak,”Suryaaa… tolong tarik talinya, aku tak mungkin kuat menarik!”

Dengan tenaga yang ada, aku menarik tali itu sekuat-kuatnya dan akhirnya berhasil membuat sampan merapat ke tepian. Nanda pun lantas turun dari sampan tersebut.

“Terimakasih banget buat bantuannya tadi.” Ucap Nanda pelan.

“Kamu kesurupan setan apa sih? Enggak biasanya kamu bilang terimakasih.”

“Emmm… setan apa ya?”

“Ah… enggak penting. Emmm… kok kamu nggak ke gereja?”

“Aku pengen pulang. Ceritanya sambil jalan aja ya…” pinta Nanda.

Aku dan Nanda melangkahkan kaki bersama, seperti biasa kami selalu berjalan sejajar. Tak pernah satu kalipun kami saling mendahului.

“Eh, jalannya jangan cepat-cepat, nggak ada perampok kan di belakang?” Perintah Nanda.

“Di belakang sih nggak ada, tapi ada perampok disampingku.”

“Maksudmu aku perampok?”

 “Mungkin kamu tlah merampok hatiku”

“Haaah…???”

Nampaknya Nanda sangat terkejut. Aku pun lantas lari menjauh. Seperti biasa aku langsung lari dan berkejar-kejaran sehabis menjaili Nanda, namun rasanya kali ini aku tidak menjailinya.

“Eh Surya, tunggu… awas kamu kalo ketangkep”

“Ayo sini kejar kalo bisa. Hahaha.” Seruku sambil tertawa gembira dan terus berlari.

***
Surya Raditya (Kecil)

Masih di akhir perjalanan hidup lamaku, kali ini aku menunggu Nanda di suatu tanggul di tengah-tengah padang ilalang yang lumayan jauh dari rumahku. Sebelum Nanda berangkat kegereja tadi pagi, kami sudah janjian terlebih dahulu untuk bertemu di tempat itu. Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bertemu Nanda. Semua urusan sdku telah selesai dan hari berikutnya adalah acara perpisahan sekolah dan mungkin akan menjadi momon terakhir bersama seragam merah putihku.

Belum lama aku menunggu, tiba-tiba Nanda muncul dari balik semak-semak padang ilalang. Dia memberikan senyuman manisnya padaku, oh indah sekali. Lalu, dia mengambil posisi duduk sangat rapat disampingku. Ada yang berbeda dari caranya berpenampilan, sungguh anggun. Tatapan matanya yang tak pernah aku lihat sebelum itu. Lalu cara dia mengalunkan senyumannya padaku. Apa tanda dari semua ini?

“Kok dari tadi kamu diem aja?” Ucap Nanda memecah keheningan.

“Ada yang beda aja” kataku dengan sedikit centil

“Beda apanya?”

“Rasanya ada yang beda aja. Rasanya kehilangan sesuatu yang kita cinta itu bagaimana ya?” Ucapku dengan menatap Nanda tajam-tajam.

“Aku belum tahu, belum pernah aku merasa kehilangan sebelumnya.”

“Ah sudah lah jangan dibahas untuk saat ini,” tutupku. “Oh iya kamu bawa Alkitab buat apa?”

“Setiap kebaktian aku memang selalu bawa Alkitab, biasanya kan Aku bawa tas tapi kali ini enggak.”

“Tebel banget.”

“Hehe, ya begitu lah. Eh pesantren itu apa? Kamu kan mau sekolah disana, pasti kamu tau kan?”

“Aku juga tak begitu paham dengan itu, aku cuma tau kalau pesantren itu kaya asrama yang untuk pendidikan islam.”

“Berapa lama kamu akan disana?”

“Mungkin kita akan lama tidak berjumpa.”

Tiba-tiba Nanda diam seolah dia tengah memikul beban yang sangat berat.

“Kamu…” gumamku dengan ragu-ragu.

“Apa…?”

“Setiap kebaktian gereja, kamu selalu ikut?”

“Iya, kenapa memangnya?”

“Emmm… kamu mengikuti kebaktian karena kamu cinta kepada Tuhan, namun ada sesuatu yang kamu buat sendiri karena cinta yang sama dalamnya.”

“Aku tak mengerti apa yang kamu katakan.” Ucap Nanda lemah lembut.

Aku tak menjawab pertanyaan Nanda. Setelah itu aku berdiri, berjalan pelan-pelan mencoba menjauh sedikit demi sekit darinya. Tak lamu aku berhenti sejenak dan menghela nafas dalam-dalam.

“Suatu saat kamu akan mengerti…” Ucapku tanpa memalingkan muka.

Aku kembali melangkahkan kaki kecilku ke dalam padang ilalang yang sedikit demi sedikit menyembunyikan tubuhku dari tatapan Nanda.  Dan akhirnya tubuhku benar-benar hilang tertelan lebatnya padang ilalang.

Angin dingin mulai berhembus menyusup kedalam diri yang tengah berduka. Langit mulai tampak gelap. Sedangkan aku telah begitu jauh dari tempat Nanda berdiri, tak kelihatan sama sekali. Aku tak tahu apa yang Nanda lakukan saat ini. Akankah dia menangisi kepergianku?

Tubuhku telah begitu lelah untuk terus menyusuri padang ilalang, aku pun memutuskan untuk  mambaringkan tubuhku di padang ilalang ini. Aku merasa semak-semak padang ilang tersebut telah menyayat kecil kulitku sehingga luka dengan sedikit darah keluar. Tak lama setelah itu hujan lebat mengguyur selurh tubuhku yang terbaring ini.



Bersambung. . . 

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Serial ini sebelumnya tak sengaja terhapus karena sebuah kekeliruan. mohon maaf

    BalasHapus


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -