Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)


Hari itu aku benar-benar merasa kehilangan semua orang yang aku cintai, semua orang yang aku sayangi, semua hal yang aku sukai, dan semua hal yang aku banggai. Sebelumnya aku tak pernah merasakan hal ini, hal yang telah membuatku sakit jati, hal yang menggebu-gebu dalam emosi, dan membuat kacau dalam diri. Mungkin aku sering kali luka hati, namun tak sesakit ini. Ini merupakan hal paling sakit yang ku alami, tak pernah ada  di hari-hari. Hari-hari sebelum kini, sebelum semuanya terjadi.

Senja itu aku berangkat ke stasiun dari rumahku menggunakan motor yang tersisa setelah ayahku di PHK. Perjalanan ini begitu sunyi. Sunyi dan senyap yang begitu aku benci. Warna mega seolah pudar terhapus kegelapan petang. Merah kekuningan menjadi hitam, biru menjadi hitam pekat, putih sinar menjadi hitam kelam, dan bumi pun jadi hitam tak beraturan. Sedangkan itu Jam tanganku menunjukkan waktu pukul 18.30, suatu petang yang sudah larut.

Ayahku meninggalkanku di stasiun sendirian. Ia akan kembali setelah menjemput ibu di rumah. Nantinya, ibu akan bersama denganku ke kampung halaman. Ia akan menetap disana selama aku di pesantren. Aku tak dapat membayangkan apa jadinya nanti di pesantren, setiap hari saja aku tak pernah shalat. Dan nantinya aku harus terus dan terus mengaji? Ah… aku rasa ini semua di luar kemampuanku.

Setelah lama aku menunggu, akhirnya ayah dan ibu datang. Namu suara khas bunyi bel stasiun bergema ke seantero ruangan. Bel tanda keretaku kan datang. Tak lama setelah itu keretaku benar-benar datang. Sebuah kereta ekonomi yang penuh dijejali oleh manusia-manusia tak beraturan. Sebuah kereta yang sudah tua. Terlihat olehku kaca-kaca yang sudah banyak retak disana sini dan gerbong yang tak terawat membuatnya semakin terlihat tua. Khas sekali orang Indonesia.

Aku dan ibuku tak mau berebutan masuk ke kereta karen ada tulisan tempat duduk 9C di karcisku. Sudah jelas siapa yang duduk disitu harus bersiap untuk hengkang ketika aku menyuruhnya untuk pergi. Aku pun memasuki kereta itu lalu menempati tenpat duduk yang tertera di karcis. Ibuku tepat duduk disampingku. Didalam kereta tersebut kumuh sekali, layaknya gudang yang digunakan untuk membuang barang-barang bekas yang tak berguna lagi. Apakah aku ini memang barang yang tak berguna lagi sehingga bisa dibuang seenaknya?

Aku tak ingin menjadi barang yang tak berguna. Tapi bagaimana caranya agar aku bisa berguna bagi orang lain? Sedangkan diriku selalu saja menyusahkan orang-orang disekelilingku.

Aku merasa ada sesuatu yang hadir di ingatanku. Iya! Aku harus membaca surat yang diberikan Nanda tadi sore kepadaku. Aku mencari surat didalam tasku, benar kalau surat itu ada. Aku tak sabar ingin membukanya. Kira-kira apa ya isi surat itu?




Terkadang harapan memang tak sesuai kenyataan. Dan kadang juga kenyataan adalah hal paling menyakitkan yang harus kita terima. Walaupun begitu, aku tetap percaya bahwa harapan itu bagai pelita terakkhir di tengah kegelapan yang dapat menyalakan pelita-pelita lain sehingga dapat menjadikan suatu tempat gelap menjadi terang benderang. Walaupun harapanku hanya sekecil butiran debu, namun bukankah sekecil apapun cahaya di kegelapan akan tetap tampak bersinar?

Keraguan bagai debu dan pasir, tinggal ditiup angin saja sudah hilang entah kemana. Untuk itu aku bergegas untuk membuka surat dari Nanda tanpa keraguan. Surat itu tampak manis dengan kertas merah muda dan dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip dengan sebuah hati. Apakah itu tandanya dia ingin berbicara dari hati ke hati denganku? Entahlah! Semua itu takkan pernah terjadi.


Untuk Surya Raditya, sahabatku termanis…

Aku menulis surat ini sambil mengenang persahabatan kita yang begitu indahnya. Setiap hari, di pagi hari kita selalu berangkat sekolah bersama, lalu siangnya kita pulang sekolah bersama pula, dan sehabis pulang kita selalu bermain sepuas yang kita bisa. Senja bukanlah penghalang, bahkan malampun bukan merupakan sesuatu yang mengerikan. Setiap minggu pagi kita berkejaran di tepi danau yang sama. Rasanya itu semua terlalu indah untuk aku kenang.

Mungkin aku tak sepuitis dirimu, aku tak bisa menjabarkan kata-kata indah layaknya seorang pujangga. Tapi ini tulus dari dasar hatiku yang aku sendiri tak tahu mana dasar itu. Namun aku tahu hatiku tak mungkin berdusta pada diriku sendiri dan juga pada dirimu.

Aku sangat menyesal akan suatu hari yang telah tiba. Dan memaksa kita untuk saling merasa kehilangan. Rasa yang sebelumnya belum pernah kita rasakan. Sakit mungkin iya, sedih mungkin juga iya, tapi ada rasa yang aku sendiri tak tahu itu apa. Rasanya itu aneh namun aku suka pada rasa itu. Walau akhirnya rasa itu pula yang membuat hati ini merasakan sakit sedalam-dalamnya.

Aku masih ingin pada hari dimana kita terakhir kali bertegur di padanh ilalang. Kamu berkata kepadaku bahwa aku mengikuti kebaktian karena aku cinta kepada Tuhanku, namun ada sesuatu yang aku buat sentiri katena cinta yang sama dalamnya.

Itu adalah kata yang paling sulit diterjemahkan olehku. Namun hati ini yang menjawab bahwa kamu cinta kepadaku. Bukankah itu benar adanya, Surya? Asal kamu tahu saja, aku juga mencintaimu. Tak tahu sejak kapan aku merasakan rasa itu.

Kalung salib kepunyaanku masih ada di kamu kan? Dulu aku sengaja tak menerimanya kembali karena aku ingin kamu memegang kalung itu. Tanpa ada maksud apapun dariku, aku hanya ingin kamu mengenag aku sebagai orang yang berbeda diantara yan lain di dalam hatimu. Aku harap kamu dapat mengabulkannya.

Aku tak mau berjanji pada suatu hal yang tak mungkin aku tepati. Namun bila kau datang kembali, hatiku akan selalu terbuka lebar untukmu. Walau nantinya itu bukan cinta, tapi itu lebih dari cinta, dan lebih dari apapun. Aku harap kamu mengerti maksudku.

Terakhir, semoga kamu baik-baik saja disana ya… aku akan selalu menjaga diriku sebaik mungkin disini, jadi jangan khawatir. Jangan menangis ya… aku ingin melihat Surya yang selalu tersenyum bahagia.

Surya, hidup ini memang tak seindah dongeng, namun hidup ini lebih ajaib dari pada dongeng.


Sahabat termanis

Nanda Priskilla


Hari itu meupakan hari paling menyedihkan dalam hidupku. Air mata bagai sungai-sungai jernih yang mengalir dari hulu ke muara tanpa ujung. Perasaanku bagai seribu persimpangan dalam labirin yang sangat gelap. Diriku bagai batu kerikil yang habis terbakar ditelan panasnya larva. Lalu harapanku bagai ombak laut yang selalu kendas terhalang kerasnya karang.

Namun hidup akan selalu berjalan bukan atas apa yang kita mau tapi atas apa yang dunia mau. Kita hanya sebagian kecil dari luasnya jagad raya yang tiada batas. Maka dari itu kita tak dapat berdaulat menjadi Sesuatu paling diasingkan di alam ini karena masih banyak debu-debu yang berkeliaran tanpa tujuan di luar angkasa sana.

Dan hari ini jua aku tak lagi bertanya, apakah dalam hidup ini hanya ada satu orang yang mencintaiku. Ah… yang penting bagiku hanya ada satu orang yang aku cintai, yaitu Nanda Priskilla.

***

 3 tahun kemudian…

Aku ingin menegur pada alam ini mengenai kebebasan. Kebebasan, suatu kata yang sering diucakan oleh setiap manusia di barat sana. Lidah kita begitu fasihnya mengucap kata kebebasan. Aku rasa kebebasan itu hanya ada dalam dongeng masa kecilku, hanya ada dalam ilusi yang tak ada dalam dunia nyata. Adakan tempat di dunia ini yang sungguh bebas? Aku rasa tak ada.

Setelah terkekang selama 3 tahun di pesantren akhirnya aku keluar dan kembali menghirup udara kebebasan palsu. Aku merasa ini tak lebih baik dari dulu kau di pesantren. Entah mengapa hatiku mengatakan seperti itu. Satu hal dan hanya satu orang yang ingin aku temui ketika aku kembali ke bekasi ini, itu adalah cinta dan Nanda. Cinta dan Nanda tak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena mereka menyatu satu sama lain bagai api dan panasnya serta salju dalam kedinginannya.

Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke rumah Nanda. Aku sudah rindu sekali padanya. Pada hal dalam masa kecil kita. Mungkin aku tak dapat memilih masa kecilku namun masa depan aku sendiri yang tentukan.

Padahal rumah kita sangat dekat namun sejak kepulangan tadi malam, aku sama sekali belum melihat Nanda. Dimanakah ia gerangan? Cepat-cepat aku melangkahkan kaki kecilku ini seolah aku tak sabar lagi melihat peri kecilku itu menjelma menjadi bidadari yang cantik rupawan.

Baru beberapa langkah kakiku menapaki gang depan rumahku, tiba-tiba hujan lebat turun. Aku pun berteduh di sebuah teras rumah kosong tak berpenghuni. Kulihat langit tampak muram dan halilintar mengaung-ngaung layaknya serigala mengaung di Bulan purnama. Sungguh menyeramkan.

Dingin menyusup menembus kulit hingga ke dasar tulang belulang. Lalu debu-debu menguap bertumbukan dengan rintik-rintik hujan. Seketika itu bumi menjadi dingin, menjadi basah, dan menjadi segar kembali.

Udara dingin menghembus bergantian, membelai lembut tubuh-tubuh yang menginginkan kehangatan. Lalu mengelus-ngelus layaknya seorang ibu mengelus lembut rambut balitanya hingga tertidur lelap. Damai sekali. Hingga aku tak sadar terlelap tidur dalam buaian kesunyian siang itu, siang menjelang senja yang diguyur hujan.




Detik demi detik berlalu, detik diganti menit. Lalu menit demi menit berlalu, menit diganti jam. Lalu sedikit jam berlalu hingga membangunkanku dari tidur lelapku. Mataku samar-samar melihat sebuah keindahan alam yang menakjubkan. Batu saja hujan berakhir di senja ini dan menyisakan keajaiban kilauan indahnya pelangi. Rasanya aku ingin menghabiskan waktu bersama Nanda senja ini. Rasanya semua itu begitu sempurna untuk diriku. Hingga asa tinggallah asa.

Aku pun bergegas bagun dari tidurku lalu melangkah ditemani pelangi di atas sana. Perlahan tapi pasti, akhirnya langkah kakiku ini sampai di depan rumah Nanda. Hatiku tergunjang sesuatu, Sesutu yang sangat dahsyat antara cinta, emosi, dan kerinduan. Aneh sekali.

Aku mencoba menekan bel rumah itu. Seketika itu ada langkah-langkah mendekati balik pintu. Hatiku semakin berdebar-debar. Dan pintu pun membuka. Sesosok orang yang putih berdiri di hadapanku. Memandangku seolah asing baginya. Padahal aku tak menganggapnya asing. Yah! Aku jelas sangat kenal sosok itu…


Bersambung. . .

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -