Nanda Priskilla (Kecil)

Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)

Rindu telah menjelma menjadi pucuk-pucuk harum pohon cemara yang takan pernah bisa aku menggapainya. Menjauhinya adalah luka, memeluknya adalah duka, serta mengucapnya bagai sabda.  Rinduku menggerang kesakitan menahan ribuan luka yang menerjang. Lalu aku iba pada kata sia-sia yang selamanya akan menjadi kesia-siaan. Ini semua mengakhiri tanya hatiku pada arti sebuah kehilangan. Karna aku merasa sudah benar-benar kehilangan orang yang aku cintai selamanya.

Entah aku lupa atau tidak, namun orang yang berada di depanku benar-benar bukan Nanda Priskilla. Aku masih teringat pada nama kedua adiknya, Bagas Daniel dan Bayu Yohanes. Dan didepanku saat ini, orang yang membukakan pintu rumah adalah Bagas Daniel. Dari dulu aku selalu curiga pada dirinya, apakah benar dia adik Nanda? Kalau adik kenapa dia sampai bisa seumuran dengan Nanda bahkan satu kelas dengannya. Sebuah tanda tanya besar yang belum terjawab sampai saat ini.

“Surya Raditya?” Tanya bagas kepadaku seolah ia lupa.

“Bagas kan?” Tanyaku balik memastikan aku tidak salah orang.

“Masuk dulu yuk!” Ajaknya tanpa basa-basi.

“Emmm nggak usah. Cuma mau mngajak Nanda sebentar.”

“Nanda?” Tanya bagas yang membuatku bingung.

“Iya nanda.” Tegasku.

Tampaknya ada sesuatu yang disembunyikan oleh bagas. Mungkin saja sesuatu yang selama ini menjadi tanda Tanya besar dalam diriku.

***

Aku merasa telah menemui jalan buntu yang putus sedangkan di belakangku adalah jalan menuju jurang terjal. Bayanganku tak lagi memihak padaku, ia memilih untuk tertawa di belakangku. Aku benar-benar merasa sendiri walaupun Tuhan telah menemani sepanjang aku disini. Walaupun simfoni dimainkan dengan nada-nada silih berganti namun takkan mungkin bisa mmenghibur hati ini.

Cerita bagas tadi petang telan membuatku kehilangan harapan pada Nanda. Aku masih tak percaya jika masalahku tak berujung sampai di sini. Semuanya menjadi lebih rumit  dari pada mencari domba di lautan, dari pada mencari seekor paus di Himalaya, dan dari pada mencari beringin di padang sahara. Serumit benang yang menggulung seisi dunia. Mustahil untuk dapat dilepaskan.

Ternyata Nanda semacam anak asuh atau lebih tepatnya anka pancingan yang diambil dari sebuah desa di bali. Beruntunhnya, setelah suami istri itu mengadopsi Nanda, Bagas pun lahir. Hingga Nanda dianggap sebuah anugerah di keluarga itu. Satu tahun setelah kepergianku ke pesantren, orang tua asli Nanda mengambilnya dan mambawa begitu saja Nanda ke bali. Dan sampai detik ini belum ada kabar sedikitpun tentang Nanda yang diterima oleh keluarga asuhnya. Na’as sekali nasin dia.

Kisak indah yang terukir antara aku dan Nanda  di masa lalu sudah benar-benar akan jadi dongeng dalam hidupku untuk selamanya. Tak tahu sampai kapan aku tak akan bertemu Nanda. Mungkin aku juga takkan bertemu dia di surge nanti. Astagfirllah hal ‘adzim aku telah berpikir jauh di atas kodrat manusia.

Selama 3 tahun ini aku telah menutup rapat-rapat pintu hatiku untuk orang lain. Karna aku mengira jika cintaku hanya untuk Nanda semata. Namun apakah kini aku harus membuka pintu hatiku untuk orang lain?

Aku menengadahkan ke palaku ke atas langit malam. Tampaknya bulan mengintip renunganku di kamar ini dari balik jendela. Dan bintang-bintang di langit bebas sana seolah kompak dengan seraya berkata,”Temui Nanda di Bali !”

***

10 tahun kemudian…



Surya Raditya (Dewasa)
Tak terasa kini usiaku telah menginjak 25 tahun. Sebuah masa yang panjang bagi orang seperti aku. Aku yang telah membekukan hatiku bertahun-tahun lamanya sekeras batu karang. Tak ada satupun hati seorang hawa yang mampu menembusnya. Kecuali satu, peri kecilku waktu SD dulu.

Aku masih teringat jelas wajah manisnya dulu. Sudah 13 tahun lamanya setelah aku lulus SD, aku belum sekalipun bertemu dengannya. Masihkah dia mengingatku? Namun hati kecilku selalu meyakini kalu dia takkan melupakan aku begitu saja. Aku bahkan masih ingat bagaimana di memakai sepatu, memakan es krim dengan begitu lucunya, dan cara dia merangkai huruf-huruf menjadi sesuatu yang indah.

Masih ingatkah dia saat aku dan dia berlarian saat hujan bulan Desember? Saat aku dan dia berbaringan di atas padang ilalang dengan menatap langit biru? Saat aku dan dia menguntai sebuah janji di bawah naungan pelangi? Dan saat aku dan dia menghitung jumlah bintang di langit bebas sana? Lagi-lagi hati kecilku selalu percaya, pasti dia masih ingat.

Aku harap aku dapat lebih beruntung daripada kehidupan sebelumnya. Semoga pencarian cintaku ini akan berbuah manis pada akhirnya. Dengarlah wahai seraya alam semesta… Darti sini, detik ini juga, dari Tanah lot tempatku berada saat ini, aku akan mencari Nanda Priskilla, seorang pujaan hatiku sampai aku mendapatkannya. Tak peduli jika itu memakan waktu seribu tahun jua.

***

Aku terbangun dari tidur lelapku dengan muka kusut dan rambut berantakan. Aku melihati dinding di ujung-ujung kamarku. Lalu mataku tertuju pada sebuah kalender besar yang terpampang dekat dengan meja kerjaku. Aku baru menyadari bahwa sudah satu minggu aku di bali. Huuu.. Bukan waktu yang sebentar lagi. Dan meja kerja dibawah kalender terdapat lembar-lembar kerjaku yamh tertumpuk berantakan. Masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan.

Sebagai seorang editor suatu majalah sastra, aku diberikan tugas untuk membandingkan beberapa karya sastra tentang alam bali dengan objek sesungguhnya. Ah... Sengguh pekerjaan yang berat. Konsentrasiku pada pekerjaan tak pernah ada karena pikiranku bukan pada pekerjaan tapi pada pencarianku terhadap nanda yang harus segera kutemukan. Karena satu mingu lagi aku harus pulang ke jakarta.

Hari ini aku harus mengunjungi sebuah galeri seni lukis di denpasar. Aku menerima undangan dari salah satu pelukis disana yangsekaligus teman smaku dulu. Aku pun bergegas enyah dari tempat tidurku dengan penuh kemalasan. Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi.

***

Mungkin denpasar tak seramai jakarta. Namun panasnya terik matahari siang di bumi denpasar benar-benar membuatku kewalahan. Sudah lama aku menunggu bus kota di halte ini namun tak kunjung ada bus. Jam tanganku sudah menunjukkan waktu pukul satu siang sedangkan perutku kosong tak berisi dari tadi pagi. Aku melihati gedung-gedung di sekitar jalan. Mataku lantas tertuju pada warung kopi di seberang jalan sana.

Setelah melihat warung kopi, aku berfikir untuk makan siang kecil disitu. Aku melihat ke kanan jalan. Ah sial bus kota sudah datang. Terpaksa aku harus menunda makan siangku nanti. Bus pun berhenti tepat di depan halte. Aku langsung naik lalu memilih tempat duduk paling belakang, paling belakang adalah tempat favoritku.

Tak lama bus pun berjalan perlahan-lahan lalu semakin cepat dan semakin cepat lagi tidak seperti di jakarta yang macet berjam-jam. Inikah kota denpasr? Orang-orang berjalan rapi dinggir trotoar dan diantara mereka turis-turis asing tampak lebih menonjol dari pada penduduk setempat. Lagi-lagi tak seperti Jakarta yang trotoarnya sesak dengan pedagang-pedagang kaki lima. Tiba-tiba aku seseorang wanita sepeerti blesteran asia dan eropa yang menghampiri ke arah tempat aku duduk. Mungkin karena tempat duduk yang lain telah penuh.

Wanita itu menggunakan baju khas kantoran. Jelas kalu dia orang indonesia. Menggunakan rok mini dan baju dengan lengan panjang. Nampaknya ia akan pergi ke kantor.

“Excuse me sir!” sapa wanita itu.

“Yes Miss.” Jawabku belaga sok inggris.

“May I sit here?”

“Of course, please!” jawabku sambil menganggukan kepala. Wanita itu pun lantas duduk disampingku.

Kenapa ya dia pakai bahasa inggris? Apakah karena kulitku begitu putih dan ramputku agak kepirang-pirangan serta mataku yang sipit dan tak berwarna hitam pekat layaknya orang Bali? Ah entahlah. Aku jadi malu melihat kepadanya, apalagi sampai ketahuan kalau aku orang jawa. Aku pun memalingkan mukaku keluar jendela. Namun samar-samar aku melihat bayangan wanita itu dari jendela hitam, rupanya ia terus memperhatikanku. Aku jadi gugup.

Aku tetap membiarkan wanita itu memandangiku terus-menerus. Aku tak peduli padanya. Tak peduli sama sekali. Bus pun terus berjalan melewati gedung-gedung kecil di pinggir jalan.

Sudah satu jam lamanya bus ini berjalan. Tiba-tiba wanita tadi beranjak dari tempat duduk disampingku.

“Galery art...” kata seorang wanita itu kepada kondektur. Wah kebetulan dia mau ke galeri juga.

Bus pun berhenti di depan galeri, aku lantas turun dari bus itu. Tapi, kemana ya wanita tadi? Ah... peduli sekali. Aku pun melangkah ke teras gedung galeri. Di pintu masuk seorang satpam tersenyum ramah padaku. Sebuah samputan yang baik. Aku pun masuk kekantor ber Ac itu. Ternyata pameran lukisan ada di lantai 2. Dengan langkah sangat pelan aku menaiki tangga. Aku paling malas jika haru menunggu hanya untuk sekedar naik lift ke lantai 2.




Akhirnya aku telah sampai di lantai 2. Dan di depanku terpampang lukisan-likisan yang begitu indahnya. Tempat yang luas itu penuh dengan lukisan yang belum pernah aku lihat sebelumya. Aku melihat-lihati satu persatu lukisan itu dengan pula merabanya perlahat-lahan. Tiba-tiba tangan kiriku yang sedang meraba lukisan terhenti di satu lukisan yang aneh. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis kecil berdiri di tepi pantai dengan labgit yang bernuansa kegelapan dan kemerah-merahan. Lalu di langit lukisan itu ada sebuah benda entah gambar matahari yang sangat besar atau bulan yang sangat besar. Aku meraba-raba setiap gradasi warna lukisan itu. Hingga aku menemukan tulisan “NP” di ujung kanan bawah lukisa itu. NP? Sepertinya aku sangat akrab pada inisial itu.

Aku menggeser pendanganku  ke kanan. Aku melihat seorang perempuan sendirian kira-kira sepuluh langkah dari tempatku berdiri. Tiba-tiba sesuatu yang berbeda didatangkan oleh wanita itu. Tangan kiri wanita itu meraba-raba sebuah lukisan. Mataku terperanjat seketika kulihat sebuah gelang yang dipakia tangan kirinya. Jelas kelihatan karena dia memakai baju lengan pendek. Lalu jari-jarinya yang lentik itu jelas sekali aku mengenalnya.

Tiba-tiba banyangan masa kecilku datang kembali. Angin perlahan-lahan menerpa tubuhku. Lalu semak-semak padang ilalang menggelitiki kaki kecilku.

“Hey Surya tungguuu... Awas kamu kalo sampe ketangkep.” Seru seorang gadis kecil dari sejauh mataku memandang padang ilalang.

“Nanda Priskilla....???”


Bersambung. . .

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -