- Back to Home »
- SERIAL »
- Cerbung: Saat Hati dalam Persimpangan (part 5)
Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)
Cerita baru, segera dimulai. Bersama hilangnya sebuah badai, yang selama ini memindai, suatu hal yang dulu pernah aku tuai. Harapan telah banyak mengajariku, sesuatu yang tak pernah aku tahu, dan kini telah membuatku terpaku, lama terpaku dan lama terharu. Pari kecilku telah kembali dan aku rasa ini bukan mimpi dan bukan pula hanya sebuah ilusi. Namun aku belum mengerti, belum mengerti apa yang terjadi.
Aku masih memandangi seorang wanita yang memakai gelang seperti gelang yang aku dulu rangkai sendiri lalu ku beriakn kepada Nanda Priskilla. Ya Tuhan aku baru menyadari bahwa wanita itu adalah orang yang tadi kutemui di bus dan dia tepat duduk disampingku. Tapi segitu cepatkan dia berganti baju? Yang awalnya mengenakan baju kantoron rapi lalu sekarang berganti menjadi baju santai? Dan jangan-jangan dia memandangiku di bus tadi karena dia mengenal aku? Ya ampun, aku menyesal karena tak pernah mempedulikan apa yang ada disekitarku.
Tiba-tiba wanita itu menoleh kepadaku. Tangan kirinya masih meraba-raba lukisan, gelangnya jelas masih terlihat olehku. Aku pun mulai menatap matanya. Mata kita bertemu dalam satu titik fokus namus masih dalam bayang maya. Aku mengangkat tangan kananku setinggi dada, lalu jari telunjukku aku acungkan ke lukisan. Setelah itu jari telunjukkuaku acungkan ke wanita itu. Itu adalah bahasa tubuh yang atinya.”Apakah lukisan ini milikmu?”
Perlahan-lahan aku maju mendekati wanita itu, ternyata wanita itu mengikuti gerakanku, ia pun maju mendekatiku. Aku maju lima langkah dah dia pun maju lima langkah. Aku membisu. Wanita itu pun masih membisu tepat dihadapanku.
“N... Nan...” Sepotong kataku. Tak tahu kenapa lidahku tak mampu meneruskannya.
Wanita itu kembali tersenyum padaku,”Surya... Aku tahu kamu pasti akan datang”Ucap wanita itu.
Mendengar itu, ragaku bagai terlempar ke jurang dalam. Terperosok jauh lalu tenggelam ke dasat kolam dan akhirnya terdampat di langit kelam. Ini semua tak dapat dipercaya, 13 tahun lamanya peri kecilku menghilang entah kemana. Dan kali ini dia ada di depan mata. Apakah ini bukti atas apa yang pernah Nanda bilang kalau hidup itu lebih ajaib daripada dongeng?
Aku menurunkan badanku dan sekarang aku berlutut pada Nanda. Tampaknya Nanda kebingungan. Lalu aku mengambil sesuatu dari saku celanaku. Sebuah kalung salib yang dulu Nanda berikan padaku. Nampaknya Nanda begitu cerda tanpa haru aku menjelaskan, ia pun melepas gelang pemberianku.
Aku kembali berdiri lalu berkata,”Bolehkah aku memakaikan kembali kalung ini padamu, Nona?” Rayuku.
Ia tersenyum geli sambil berkata,“Of course.” Dia mengatakan kata yang aku katakankepada dia waktu di bus tadi siang. Aku lantas tersenyum malu. Malu karena aku begitu bodohnya.
Aku pun mulai memakaikan kalung salib itu di lehernya tanpa menyentuh sedikitpun kulitnya. Setelah selesai lalu aku melepas tanganku.
“Ini sebagai ganti dari pelukanku padamu.”
Ia kembali tersenyum. Lalu iapun memakaikan gelang di tanganku.
“Gelang ini sebagai balasan pelukanmu padaku.”
***
Saat malam hari di pantai kuta. Angin sepoi-sepoi terus menerpa. Diiringi pasir-psir yang mendera. Disusul ombak dengan suara khasnya. Seolah semua itu menbuat sebuah nada. Mengalun-ngalun dengan indfah iramanya. Irama yang tak dimiliki alat musik mana saja.
Kursi ini telah lama diam. Diam bagai tenggelam. Hening, sunyi, dan sepi. Lalu meja di depan menunggu, menunggu satu kata yang terucap dari mulut mungilku ini. Bukan hanya meja saja yang menunggu. Mungkin Nanda Priskilla pun menunggu.
“Kok makanannya gak dimakan-makan sih? Katanya dari tadi pagi belum makan?” Ledek Nanda yang sedikit menghibur hatiku. Ia duduk di depanku.
“Kayaknya memandangmu sudah lebih dari kenyang, hehehe.” Candaku kembali.
“Kamu itu bisa aja. Gombal tau.” Ucapnya sambil menundukkan kepala karena malu.
“Eh, indah sekali ya pantainya. Ini hari paling romantis dalam hidupku.”
“Katanya sastrawan. Ini kan udah malem bukan hari lagi. Seharusnya malam paling romantis.” Nanda kembali becanda. Menambah kehangatan malam ini.
“Ini masih petang kali belum malam, baru juga sam setengah tujuh.”
“Hmmm... Iya deh aku ngalah. Biar tambah romantis, bagaimana kalau kita...”
“Gak usah macem-macem deh.”
Tiba-tiba Nanda menatapku berbeda. Tatapan yang menbuatku takut. Ia menggeser posisi duduknya lebih menempel ke meja. Aku lantas menggeser tempat dudukku lebih kebelakang. Ia bukan lagi seperti peri melainkan singa yang mengincar mangsanya. Kemudian ia berdiri mendekatkan mukanya padaku. Lebih dekat dan semakin dekat. Aku menatap matanya penuh ketakutan. Lalu mata dia ditunjukkan pada kerah bajuku yang membuka sebagian dada atasku. Aku semakin takut.
Lalu bibir Nanda mulai di dekatkan ke bibirku. Mukanya benar-benar bringsang. Nafsu sekali. Dada bergetar begitu kencangnya. Aku tak kuat lagi. Aku pun memejamkan mataku buakn karena aku mau hal itu, tapi karena aku tak dapat menolaknya. Maaf ya Allah jika aku tak dapat menolaknya, semoga Kau melindungi kehormatanku dan juga kehormatannya.
“Hahahahaha...”
Tiba-tiba aku mendengar Nanda tertawa. Aku membuka mataku dan segera mungkin aku mengeluarkan semua nafasku yang dari tadi aku takan.
“Hahaha kamu lucu banget, padahal aku cuma mau ngetes seberama iman kamu.”
“Sumpah, aku gak tahan. Hahaha.” Aku ikut tertawa.
“Bener, gak salah kamu selama ini di pesantren. Bener-bener jadi orng alim. Eh bukan. Apa itu?”
“Sholeh?”
“Iya sholeh. Hahaha.... Kalo aku sholehah ya?”
Aku hanya membalas dengan senyum lebarku.
***
Ada banyak hal di dunia ini yang tak terduga. Apalagi kalau bicara tentang cinta. Cinta itu bagai keajaiban yang tiada tara., cinta dapat dirasakan oleh siapa saja. Cinta unpama mega di waktu senja, tak pernah terlambat untuk bercahaya. Menyinari sekalian manusia di dunia. Indah sekali rasanya bercinta.
Kini aku telah sampai di Bekasi setelah lama menghabiskan waktu di Bali bersama Nanda. Rasanya akuaku tak ingin kembali kesini waktu itu. Namun takdir bicara lain, ternyata Nanda tinggal di Jakarta. Dan kedatangannya kemarin di bali hanya untuk menjenguk ibi kandungnya. Buka hanya itu dia juga menjual karya lukisannya di Bali. Galeri tersebut biasa memamerkan lukisan buatan guru lukis Nanda beseta anak didiknya, karena Nanda termasuk anak didiknya sejak kecil maka Nanda kerap menjual lukisannya disana.
Ada hal yang terjawab tentang kelahiran Nanda. Ternya Nanda adalah anak dari hasil hubungan gelap antara ibunya yang asli orang bali dengan turis asing dari eropa. Untung tak dapat diraih, sial tak dapat ditolak. Setelah mengetahui ibu nanda mengandung, ayah Nanda kabur ke eropa. Sungguh kejam sekali bule itu. Hingga akhirnya Ibu itu menyesahkan Nanda ke orang tua lain yang waktu itu sedang berlibur di bali. Tak lain orang itu adalah ayah dan ibu asuh Nanda. Itulah yang menbuat wajah nanda campuran pribumi dengan eropa.
Tak terasa angkot yang aku dan Nanda tumpangi telah berhenti di depan rumahku. Aku bergegas keluar lalu di ikuti Nanda di belakang. Terlihat disana Ayah dan ibuku yang telah berada di depan teras untuk menyambut kedatanganku. Aku lantas melangkahkan kaki kecilku maju, diikuti oleh Nanda.
“Ehhh... Anakku udah bawa pacar baru dari Bali.” Ucap ibuku seperti meledekku. Aku pun tersenyum pada ibuku. Nampaknya ibu paham kalau Nanda memang benar-benar kekasihku.
“Ini Nanda bu, teman masa kecilku dulu. Masa ibu lupa?” Kataku mengimgatkan Nanda kepada ibu.
“Ohh Nanda yang rumahnya di seberabg jalan itu?”
“Hehehe, ibu pintar.”
Ibuku tersenyum senng. Namun tiba-tiba ada yang aneh dari penglihatan ayahku, ia melihat kepada Nanda dengan begitu sinisnya. Rupanya ia melihat kalung salib yang dikenakan oleh Nnda. Nampaknya ayahku sedikit tak suka. Atau benar-benar tak suka?
“Misi om, tante.“ Sapa Nanda kepada kedua orang tuaku.
Ia berjabat tangan dengan ibuku. Ibuku npun menyambutnya dengan baik. Lalu Nanda mendekati ayahku, mencoba berjabat tangan dengan ayahku. Tiba-tiba sesuatu yang sangat berbeda dilihatkan oleh ayahku, dia tak menerima jabat tangan Nanda. Dia hanya diam saja. Mungkin dia berfikir Nnada bukan mukhrimnya. Nanda lantas menurunkan tangannya dengan muka penuh penyesalan. Aku jadi tak enak pada Nanda.
“Silahkan masuk kedalam non.”ajak ibuku kepada Nanda.
“Tidak usah bu, saya mau lanjut saja. Nanti kelamaan, ini udah sore sekali. Angkotnya juga udah nunggu lumayan lama, kasihan.” Tolak Nanda dengan begitu halusnya. Tapi aku rasa ini lebih dari menolak.
“Beneran gx mau masuk Nan?” tanyaku menegaskan.
“Aku pulang saja rif. Mskasih tante, makasih om.” Sapa nanda kembali pada kedua orang tuaku.
Nanda memalingkan badannya. Dengan langkah lunglai dai barjalan menjauhi teras.
“Tunggu nan!” Seruku, “Biar aku antar saja.”
“Motor ayah sedang rusak di bengkel.” Sahut ayahku ketus.
“Gak usah, aku bisa sendiri. Sampai jumpa besok ya Sur.” Tutup Nanda.
Nanda kembali melangkahkan kakinya menjauh. Aku bebar-benar merasa tak enak padanya atas sikap ayahku. Ada apa gerangan dengan ayahku? Apa karena Nanda berbeda? Atau karena dia tak meyetujui hubungan kami? Entahlah!
Nanpun segera masuk ke dalam angkot. Sedangkan itu ayah dan ibuku bersama masuk ke dalam rumah. Angkut itupun cepat-cepat berlalu, ia pergi hanya dengan meninggalkan jejak. Jejek-jejak yang akan hilang tertiup angin kecil saja.
Aku menatap ke atas langit senja. Seolah apa yang dulu pernah pergi, datang kembali. Dan sebentar lagi akan hilang kembali. Seperti awan di atas sana yang berjalan terus ke barat dan akan kembali dari timur, laalu berjalan lagi ke barat. Tak pernah ada habisnya.
Aku merasakan sesuatu dalam masa kecilku kembali menghantui. Gemercik air danau mulai aku dengar. Lalu angin sejuk di senja hari mulai meniup lembut rambur pendekku. Perlahan-lahan warna jingga menguasai seluas langit membentang. Bayang-bayang hitam mulai menghilang. Lalu kunang-kunang mulai berdatangan.
“Suryaaa...” tiba-tiba suara nanda kecil terdengar di telingaku. Aku mencari asal muasal suara itu. Namun sejauh mata memandang hamparan luas danau itu, aku tak melihat sosok Nanda.
“Suryaaa...” suara Nanda kecil itu kembali bergema. Aku menengok ke belakang, namun tak ada. Sedangkan ku lihat matahari semakin tenggelam. Sungguh menyeramkan.
Ada sesuatu yang menarik pandanganku ke perairan Danau. Aneh sekali seketika bayanganku sendiri di air dau ini berubah menjadi bayangan Nanda. Bayangan Nanda itu tersenyum kepadaku, manis sekali. Lamun tiba-tiba bayangan itu memudar menjadi tak jelas seolah ingin menghilang perlahan-lahan. Aku menurunkan tubuhku lalu jongkok. Namun bayangan Nanda di air itu tetap tak jelas lalu semakin tak jelas. Seketika itu bayangan Nanda menghilang dari air dan telihat kembali bayanganku sendiri.
Aku mencoba menerka-nerka apa maksud dari semua ini. Apakah ini pertanda aku akan kehilangan Nanda untuk kedua kalinya?
Aku masih memandangi seorang wanita yang memakai gelang seperti gelang yang aku dulu rangkai sendiri lalu ku beriakn kepada Nanda Priskilla. Ya Tuhan aku baru menyadari bahwa wanita itu adalah orang yang tadi kutemui di bus dan dia tepat duduk disampingku. Tapi segitu cepatkan dia berganti baju? Yang awalnya mengenakan baju kantoron rapi lalu sekarang berganti menjadi baju santai? Dan jangan-jangan dia memandangiku di bus tadi karena dia mengenal aku? Ya ampun, aku menyesal karena tak pernah mempedulikan apa yang ada disekitarku.
Tiba-tiba wanita itu menoleh kepadaku. Tangan kirinya masih meraba-raba lukisan, gelangnya jelas masih terlihat olehku. Aku pun mulai menatap matanya. Mata kita bertemu dalam satu titik fokus namus masih dalam bayang maya. Aku mengangkat tangan kananku setinggi dada, lalu jari telunjukku aku acungkan ke lukisan. Setelah itu jari telunjukkuaku acungkan ke wanita itu. Itu adalah bahasa tubuh yang atinya.”Apakah lukisan ini milikmu?”
Perlahan-lahan aku maju mendekati wanita itu, ternyata wanita itu mengikuti gerakanku, ia pun maju mendekatiku. Aku maju lima langkah dah dia pun maju lima langkah. Aku membisu. Wanita itu pun masih membisu tepat dihadapanku.
“N... Nan...” Sepotong kataku. Tak tahu kenapa lidahku tak mampu meneruskannya.
Wanita itu kembali tersenyum padaku,”Surya... Aku tahu kamu pasti akan datang”Ucap wanita itu.
Mendengar itu, ragaku bagai terlempar ke jurang dalam. Terperosok jauh lalu tenggelam ke dasat kolam dan akhirnya terdampat di langit kelam. Ini semua tak dapat dipercaya, 13 tahun lamanya peri kecilku menghilang entah kemana. Dan kali ini dia ada di depan mata. Apakah ini bukti atas apa yang pernah Nanda bilang kalau hidup itu lebih ajaib daripada dongeng?
Aku menurunkan badanku dan sekarang aku berlutut pada Nanda. Tampaknya Nanda kebingungan. Lalu aku mengambil sesuatu dari saku celanaku. Sebuah kalung salib yang dulu Nanda berikan padaku. Nampaknya Nanda begitu cerda tanpa haru aku menjelaskan, ia pun melepas gelang pemberianku.
Aku kembali berdiri lalu berkata,”Bolehkah aku memakaikan kembali kalung ini padamu, Nona?” Rayuku.
Ia tersenyum geli sambil berkata,“Of course.” Dia mengatakan kata yang aku katakankepada dia waktu di bus tadi siang. Aku lantas tersenyum malu. Malu karena aku begitu bodohnya.
Aku pun mulai memakaikan kalung salib itu di lehernya tanpa menyentuh sedikitpun kulitnya. Setelah selesai lalu aku melepas tanganku.
“Ini sebagai ganti dari pelukanku padamu.”
Ia kembali tersenyum. Lalu iapun memakaikan gelang di tanganku.
“Gelang ini sebagai balasan pelukanmu padaku.”
***
Saat malam hari di pantai kuta. Angin sepoi-sepoi terus menerpa. Diiringi pasir-psir yang mendera. Disusul ombak dengan suara khasnya. Seolah semua itu menbuat sebuah nada. Mengalun-ngalun dengan indfah iramanya. Irama yang tak dimiliki alat musik mana saja.
Kursi ini telah lama diam. Diam bagai tenggelam. Hening, sunyi, dan sepi. Lalu meja di depan menunggu, menunggu satu kata yang terucap dari mulut mungilku ini. Bukan hanya meja saja yang menunggu. Mungkin Nanda Priskilla pun menunggu.
“Kok makanannya gak dimakan-makan sih? Katanya dari tadi pagi belum makan?” Ledek Nanda yang sedikit menghibur hatiku. Ia duduk di depanku.
“Kayaknya memandangmu sudah lebih dari kenyang, hehehe.” Candaku kembali.
“Kamu itu bisa aja. Gombal tau.” Ucapnya sambil menundukkan kepala karena malu.
“Eh, indah sekali ya pantainya. Ini hari paling romantis dalam hidupku.”
“Katanya sastrawan. Ini kan udah malem bukan hari lagi. Seharusnya malam paling romantis.” Nanda kembali becanda. Menambah kehangatan malam ini.
“Ini masih petang kali belum malam, baru juga sam setengah tujuh.”
“Hmmm... Iya deh aku ngalah. Biar tambah romantis, bagaimana kalau kita...”
“Gak usah macem-macem deh.”
Tiba-tiba Nanda menatapku berbeda. Tatapan yang menbuatku takut. Ia menggeser posisi duduknya lebih menempel ke meja. Aku lantas menggeser tempat dudukku lebih kebelakang. Ia bukan lagi seperti peri melainkan singa yang mengincar mangsanya. Kemudian ia berdiri mendekatkan mukanya padaku. Lebih dekat dan semakin dekat. Aku menatap matanya penuh ketakutan. Lalu mata dia ditunjukkan pada kerah bajuku yang membuka sebagian dada atasku. Aku semakin takut.
Lalu bibir Nanda mulai di dekatkan ke bibirku. Mukanya benar-benar bringsang. Nafsu sekali. Dada bergetar begitu kencangnya. Aku tak kuat lagi. Aku pun memejamkan mataku buakn karena aku mau hal itu, tapi karena aku tak dapat menolaknya. Maaf ya Allah jika aku tak dapat menolaknya, semoga Kau melindungi kehormatanku dan juga kehormatannya.
“Hahahahaha...”
Tiba-tiba aku mendengar Nanda tertawa. Aku membuka mataku dan segera mungkin aku mengeluarkan semua nafasku yang dari tadi aku takan.
“Hahaha kamu lucu banget, padahal aku cuma mau ngetes seberama iman kamu.”
“Sumpah, aku gak tahan. Hahaha.” Aku ikut tertawa.
“Bener, gak salah kamu selama ini di pesantren. Bener-bener jadi orng alim. Eh bukan. Apa itu?”
“Sholeh?”
“Iya sholeh. Hahaha.... Kalo aku sholehah ya?”
Aku hanya membalas dengan senyum lebarku.
***
Surya Raditya (Dewasa) |
Ada banyak hal di dunia ini yang tak terduga. Apalagi kalau bicara tentang cinta. Cinta itu bagai keajaiban yang tiada tara., cinta dapat dirasakan oleh siapa saja. Cinta unpama mega di waktu senja, tak pernah terlambat untuk bercahaya. Menyinari sekalian manusia di dunia. Indah sekali rasanya bercinta.
Kini aku telah sampai di Bekasi setelah lama menghabiskan waktu di Bali bersama Nanda. Rasanya akuaku tak ingin kembali kesini waktu itu. Namun takdir bicara lain, ternyata Nanda tinggal di Jakarta. Dan kedatangannya kemarin di bali hanya untuk menjenguk ibi kandungnya. Buka hanya itu dia juga menjual karya lukisannya di Bali. Galeri tersebut biasa memamerkan lukisan buatan guru lukis Nanda beseta anak didiknya, karena Nanda termasuk anak didiknya sejak kecil maka Nanda kerap menjual lukisannya disana.
Ada hal yang terjawab tentang kelahiran Nanda. Ternya Nanda adalah anak dari hasil hubungan gelap antara ibunya yang asli orang bali dengan turis asing dari eropa. Untung tak dapat diraih, sial tak dapat ditolak. Setelah mengetahui ibu nanda mengandung, ayah Nanda kabur ke eropa. Sungguh kejam sekali bule itu. Hingga akhirnya Ibu itu menyesahkan Nanda ke orang tua lain yang waktu itu sedang berlibur di bali. Tak lain orang itu adalah ayah dan ibu asuh Nanda. Itulah yang menbuat wajah nanda campuran pribumi dengan eropa.
Tak terasa angkot yang aku dan Nanda tumpangi telah berhenti di depan rumahku. Aku bergegas keluar lalu di ikuti Nanda di belakang. Terlihat disana Ayah dan ibuku yang telah berada di depan teras untuk menyambut kedatanganku. Aku lantas melangkahkan kaki kecilku maju, diikuti oleh Nanda.
“Ehhh... Anakku udah bawa pacar baru dari Bali.” Ucap ibuku seperti meledekku. Aku pun tersenyum pada ibuku. Nampaknya ibu paham kalau Nanda memang benar-benar kekasihku.
“Ini Nanda bu, teman masa kecilku dulu. Masa ibu lupa?” Kataku mengimgatkan Nanda kepada ibu.
“Ohh Nanda yang rumahnya di seberabg jalan itu?”
“Hehehe, ibu pintar.”
Ibuku tersenyum senng. Namun tiba-tiba ada yang aneh dari penglihatan ayahku, ia melihat kepada Nanda dengan begitu sinisnya. Rupanya ia melihat kalung salib yang dikenakan oleh Nnda. Nampaknya ayahku sedikit tak suka. Atau benar-benar tak suka?
“Misi om, tante.“ Sapa Nanda kepada kedua orang tuaku.
Ia berjabat tangan dengan ibuku. Ibuku npun menyambutnya dengan baik. Lalu Nanda mendekati ayahku, mencoba berjabat tangan dengan ayahku. Tiba-tiba sesuatu yang sangat berbeda dilihatkan oleh ayahku, dia tak menerima jabat tangan Nanda. Dia hanya diam saja. Mungkin dia berfikir Nnada bukan mukhrimnya. Nanda lantas menurunkan tangannya dengan muka penuh penyesalan. Aku jadi tak enak pada Nanda.
“Silahkan masuk kedalam non.”ajak ibuku kepada Nanda.
“Tidak usah bu, saya mau lanjut saja. Nanti kelamaan, ini udah sore sekali. Angkotnya juga udah nunggu lumayan lama, kasihan.” Tolak Nanda dengan begitu halusnya. Tapi aku rasa ini lebih dari menolak.
“Beneran gx mau masuk Nan?” tanyaku menegaskan.
“Aku pulang saja rif. Mskasih tante, makasih om.” Sapa nanda kembali pada kedua orang tuaku.
Nanda memalingkan badannya. Dengan langkah lunglai dai barjalan menjauhi teras.
“Tunggu nan!” Seruku, “Biar aku antar saja.”
“Motor ayah sedang rusak di bengkel.” Sahut ayahku ketus.
“Gak usah, aku bisa sendiri. Sampai jumpa besok ya Sur.” Tutup Nanda.
Nanda kembali melangkahkan kakinya menjauh. Aku bebar-benar merasa tak enak padanya atas sikap ayahku. Ada apa gerangan dengan ayahku? Apa karena Nanda berbeda? Atau karena dia tak meyetujui hubungan kami? Entahlah!
Nanpun segera masuk ke dalam angkot. Sedangkan itu ayah dan ibuku bersama masuk ke dalam rumah. Angkut itupun cepat-cepat berlalu, ia pergi hanya dengan meninggalkan jejak. Jejek-jejak yang akan hilang tertiup angin kecil saja.
Aku menatap ke atas langit senja. Seolah apa yang dulu pernah pergi, datang kembali. Dan sebentar lagi akan hilang kembali. Seperti awan di atas sana yang berjalan terus ke barat dan akan kembali dari timur, laalu berjalan lagi ke barat. Tak pernah ada habisnya.
Aku merasakan sesuatu dalam masa kecilku kembali menghantui. Gemercik air danau mulai aku dengar. Lalu angin sejuk di senja hari mulai meniup lembut rambur pendekku. Perlahan-lahan warna jingga menguasai seluas langit membentang. Bayang-bayang hitam mulai menghilang. Lalu kunang-kunang mulai berdatangan.
“Suryaaa...” tiba-tiba suara nanda kecil terdengar di telingaku. Aku mencari asal muasal suara itu. Namun sejauh mata memandang hamparan luas danau itu, aku tak melihat sosok Nanda.
“Suryaaa...” suara Nanda kecil itu kembali bergema. Aku menengok ke belakang, namun tak ada. Sedangkan ku lihat matahari semakin tenggelam. Sungguh menyeramkan.
Ada sesuatu yang menarik pandanganku ke perairan Danau. Aneh sekali seketika bayanganku sendiri di air dau ini berubah menjadi bayangan Nanda. Bayangan Nanda itu tersenyum kepadaku, manis sekali. Lamun tiba-tiba bayangan itu memudar menjadi tak jelas seolah ingin menghilang perlahan-lahan. Aku menurunkan tubuhku lalu jongkok. Namun bayangan Nanda di air itu tetap tak jelas lalu semakin tak jelas. Seketika itu bayangan Nanda menghilang dari air dan telihat kembali bayanganku sendiri.
Aku mencoba menerka-nerka apa maksud dari semua ini. Apakah ini pertanda aku akan kehilangan Nanda untuk kedua kalinya?
Bersambung. . .