- Back to Home »
- SERIAL »
- Cerbung: Saat Hati dalam Persimpangan (part 6)
Saat Hati dalam Persimpangan
(Karya: Ma'arif Suryadi)
Kulihat kupu-kupu bermacam-macam warna, menari-nari dengan mengepakkan sayapnya. Kesana… kemari… terbang bersama, menebarkan semua pesona indahnya. Warna-warna yang berbeda itu menyatu, menjadi satu kesatuan yang beku, yang takkan terpisahkan waktu, apalagi hanya segelintir debu. Hingga sayap-sayap itu patah, kupu-kupu tak pernah menyerah, sebelum kakinya dipenuhi nanah, dan berubah kembali jadi tanah.
Tak pernahkan kita melihat perbedaan pada kupu-kupu itu? Dengan warna yang beda itu mereka memancarkan keindahannya, menebarkan pesonanya, dan menambah keelokannya. Tak pernahkah kita melihat bagaimana kupu-kupu itu hidup? Dengan waktu hidupnya yang hanya sebentar itu, kupu-kupu selalu ceria terbang kesana-kemari, serta tak pernah berkeluh kesah kepada sang pencipta.
Kadang aku heran kepada manusia, yang menganggap perbedaan adalah suatu dinding pembatas, dinding sangat sangat tinggi dan begitu dingin. Pembatas terhadap segala sutu hal dan termasuk cinta. Salahkah aku yang telah mencintai orang yang tak sama denganku? Akankah aku harus melepas orang yang telah lama aku tunggu?
Aku kembali menengadahkan pandangan kepada danau di depanku. Airnya tenang dan menghanyutkan. Sesekali ada kupu-kupu hinggap sebentar di atas permukaan air danau itu, lalu memunculkan riak air yang semakin lama meluas perlahan. Riak-riak air itu muncul secara bersamaan, seolah mereka ingin berkata.”Bukankah beda itu indah?”
Lalu aku mencoba memejamkan mataku. Mencari kedamaian di setiap pikiranku. Lalu aku mengambil nafas dalam-dalam.
“Ternyata kamu masih ingat juga sama tempat ini.” Tiba-tiba suara Nanda terdengar di balik tubuhku. Aku pun membalikan mukaku, sedangkan Nanda terus maju dan behenti sejajar denganku.
“Kok kamu bisa kesini?” tanyaku heran.
“Tadi aku ke rumahmu namun kamu gak ada. Ayahmu yang menyambutku. Rasanya dia benar-benar benci sama aku.” Jawab Nanda panjang lebar dengan nada pilu.
“Munngkin karena kita…”
“Beda agama kan? Itu yang membuat ayahmu tak suka padaku.” Ucap Nanda memotong perkataanku dengan ketus.
Aku memalingkan tubukku ke kanan menghadap Nanda. Sedangkan Nanda masih serius menghadap danau.
“Nan… aku ingin kau percaya kalau cinta dapat menghapuskan semua perbedaan dan suatu saat cinta kita akan membuat kita terbang jauh melewati dua dunia ini, duniaku dan duniamu.” Tuturku pelan-pelan.
Nanda yang berdiri dua langkah dariku membalikan badannya kekiri. Sekarang kami saling berhadapan. Pelan-pelan dia tersenyum padaku. Manis sekali senyumannya, itu lebih manis dari yang pernah aku lihat. Rambutnya yang melambai-lambai tertiup angin itu menambah pesona kecantikannya. Lalu aku membalas senyumannya itu. Aku mersa telah menempuh setengah jalan bersama Nanda. Kemi berdua saling mencintai dan tak peduli dengan perbedaan. Aku percaya cinta ini dapat dimengerti oleh siapapun manusia di dunia.
Nanda melangkahkan kakinya satu langkah mendekat kepadaku. Sedangkan itu gerimis mulai mengundang. Kini aku dan Nanda berhadapan dan hanya satu langkah jarak kita. Nanda mendekatkan mukanya padaku, aku pun mendekatkan mukaku pada Nanda. Dekat, lebih dekat, dan semakin dekat. Kini sudah benar-benar dekat. Nanda pun mulai mendekatkan bibirnya pada bibirku perlahan-lahan. Sementara gerimis semakin menjadi-jadi.
Sial! Tiba-tiba hujan deras turun. Aku dan Nanda lari untuk berteduh di tempat yang teduh. Ah… mungkinkah itu menandakan kalau Tuhan tak mengijinkan aku melakukan hal itu? Aku menarik nafas, alhamdulillah.
***
Tak tersa ini sudah larut malam, seharian aku diajak Nanda ke panti asuhan. Ternyata Nanda bekerja di sebuah LSM yang membantu meringankan perderitaan kemanusiaan seperti korban bencana alam, anak-anak jalanan, dan anak-anak panti suhan. Sebuah pekerjaan yang paling mulia di dunuia ini. Aku tak menyangka Nanda memiliki hati sebening berlian. Apakah pantas ayahku membenci dirinya?
Aku membuka pintu rumah perlahan-lahan. Aku takut sekali bila ayahku mengetahui aku pilang larut malam seperti ini. Ruang tamu ini sangat gelap, mungkin ayah dan ibu sudah tertidur lelap aku pun melangkahkan kakiku hati-hati, aku takut mereka mendengar.
Tiba-tiba ruangan menjadi terang, lampu ruang ini menyala. Siapa yang menyalakan? Aku mengalihkan pandanganku kebelakang. Ternyata ayahku yang menghidupkan lampu. Aku melihat mukanya yang dipenuhi amarah. Seram sekali.
Dengan matanya yang melototia berjalan cepat mendekatiku. Dan…
“Deppalak….” Suara tangan ayah yang menempar pipiku dengan sangat keras.
Aku pun mengelus-ngelus pipiku dengan kesakita. Ini adalah kemarahan pertama ayah semenjak aku kecil dulu sampai sekarang.
“Kemana saja kamu hari ini?” bentak ayah padaku.
“Aku cuma ke panti asuhan yah..” jawabku sambil merintik kesakitan.
“Omong kosong! Kau pikir ayah itu bodoh? Jangan kira ayah tak melihat kalau kamu hampir saja berciuman dengan wanita itu kemarin pagi. Kalu saja hujan tidah turun, mungkin kamu akan berbuat lebih.” Bentak ayahku lebih keras lagi.
“Demi allah yah, aku tak sepicik yang ayah pikirkan. Tadi memang aku benar ke panti asuhan.”
“Alah! pasti kamu kencan dengan gadis itu. Dasar anak gak tahu diri kamu!” Bentak ayah lagi dan kembali ia menampar pipiku lebih keras.
“Ayah sudah…”Seru ibu yang langsung mencekal ayah. Aku hanya terdiam.
“Sabar yah, mungkin anak kita sedang khilaf.” Tutur ibuku dengan menangis sedih.
“Hey anak gak tau diuntung! Kalau bukan karena ibumu ini, mungkin kamu sudah habis. Asal kamu tahu saja ayah mengirimkan kamu ke pesantren untuk menjadi orang baik-baik dan mengerti agama. Tapi apa? Kau benar-benar keterlaluan. Ayah kecewa sama kamu. Dan sekali lagi kamu coba-coba bertemu dengan wanita itu, aku takkan menggapmu sebagai anak lagi.” Ancam ayahku padaku.
“Astagfirullah yah, istighfarar ya!” pinta ibuku pada ayah.”Sur, cepat kamu masuk ke kamar.” Perintah ibu. Aku pun langsung masuk ke kamar. Menutup rapat-rapat pintu kamar lalu menguncinya.
***
Sudah satu minggu lamanya aku tak menemui Nanda. Rasanya rindu ini sudah menggebu-gebu, bagai siang yang di penuhi debu dan malam yang di datangi hantu. Aku masih bingung pada perasanku ini. Aku ingin selalu bersama dirinya, namun latar belakang kita berbeda. Lalu rasa cinta ini telah merubah jalan hidup kita berdua.
Aku telah banyak mengorbankan segalanya demi memperjuangkan cintaku dan demi mempertahankan keyakinanku bahwa apa yang dipersatukan Tuhan tak bisa dipisahkan oleh manusia. Tapi mungkinkah keyakinanku itu salah?
Kemarin malam Nanda SMS kepadaku, ingin menyuruh aku untuk menyaksikan dia membaca puisi di sebuah ajang puisi. Jelas aku ingin menemuinya, tapi bagaimana dengan ayah? Apa iya dia akan benar-benar menganggapku bukan anaknya jika aku menemui Nanda?
Namun aku sudah menentukan jalan, aku akan tetap menemui Nanda. Aku rasa ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi Nanda. Aku tak boleh mengecewakannya.
Aku pun keluar kamar dengan membawa tas besar. Seketika itu ibu menghampiriku.
“Surya, kamu ingin menemui Nanda?” tanya ibu lemeh lembut. Aku hanya mengangguk pelan.
“Jika ibu tak mengizinkan, Surya akan kembali ke kamar.” Ucapku pada ibu dengan penuh keberatan.
“Ibu tidak bermaksud seperti itu. Apakah benar Nanda itu kekasihmu?”
“Benar bu, tapi jika ibu tak merestui, Surya akan mengakhirinya.” Jwabku dengan ketulusan hatiku.
“Ibu juga tak bermaksud seperti itu. Itu semua terserah Surya saja, ibu tak mau memaksakan kehendakmu. Yang paling penting buat ibu sekarang adalah kebaikan dan kebahagian kamu.” Ucap ibu dengan penuh ketulusan.
Aku meneteskan air mataku, ibuku begitu sayangnya padaku. Aku saja yang tak pernah mengerti arti ketulusan ibuku. Aku sungguh dalam kebimbangan.
“Lalu ayah bagaimana bu?” tanyaku pelan.
“Keresahan itu datang dari hati. Dan jika hati kamu sudah yakin, maka lakukanlah. Nanti ibu bicara pelan-pelan kepada ayahmu.”
“Terimakasih bu.” Ucapku lalu memeluk ibu. Aku terharu dengan perkataan lembutnya. Hati wanita memang selalu lebih lembut dari seorang laki-laki.
“Tunggu! “ Sentak ayah yang membuatku terkejut. Aku pun melepas pelukan dari ibu.
Ayah berdiri di depan pintu kamarnya yang ada disamping kamarku,”Jika kamu benar-benar pergi menemui wanita itu. Maka ayah takkan pernah membukakan pintu lagi untukmu.” Ancam ayahku.
“Sebelum ayah bisa itu aku sudah mempersiapkan. Aku takan kembali kerumah ini.” Jawabku penuh kekesalan. Lalu aku langsung melangkahkan kakiku kepintu keluar.
“Surya....” Terik ibu sambil menangis.
Aku terus melankahkan kakiku. Lalu membuka pintu keluar lalu menutupnya kembali. Maafkan aku ibu.
***
Orang-orang bilang tak ada sesuatu hal pun di dunia ini yang kebetulah. Tuhan memberikan sesutu hal pasti selalu mempunyai maksud dan tujuan. Oleh karena itu, aku bertemu dengan Nanda juga bukan karena suatu kebetulan. Tuhan yang telah mempertemukan kami. Bukankah itu suatu pertanda bahwa kami itu satu?
Aku telah lama merenung dan menunggu Nanda membacakan puisinya di panggung ajan ini. Namun ternyata Nanda membacakan puisinya terakhir kali. Aku melihat Nanda dengan anggunnya menuju ke panggung. Persis seperti ia akan membacakan puisi waktu perpisahan SD dulu.
Ternyata tanpa basa-basi Nanda langsung membacakan puisinya.
Tak pernahkan kita melihat perbedaan pada kupu-kupu itu? Dengan warna yang beda itu mereka memancarkan keindahannya, menebarkan pesonanya, dan menambah keelokannya. Tak pernahkah kita melihat bagaimana kupu-kupu itu hidup? Dengan waktu hidupnya yang hanya sebentar itu, kupu-kupu selalu ceria terbang kesana-kemari, serta tak pernah berkeluh kesah kepada sang pencipta.
Kadang aku heran kepada manusia, yang menganggap perbedaan adalah suatu dinding pembatas, dinding sangat sangat tinggi dan begitu dingin. Pembatas terhadap segala sutu hal dan termasuk cinta. Salahkah aku yang telah mencintai orang yang tak sama denganku? Akankah aku harus melepas orang yang telah lama aku tunggu?
Aku kembali menengadahkan pandangan kepada danau di depanku. Airnya tenang dan menghanyutkan. Sesekali ada kupu-kupu hinggap sebentar di atas permukaan air danau itu, lalu memunculkan riak air yang semakin lama meluas perlahan. Riak-riak air itu muncul secara bersamaan, seolah mereka ingin berkata.”Bukankah beda itu indah?”
Lalu aku mencoba memejamkan mataku. Mencari kedamaian di setiap pikiranku. Lalu aku mengambil nafas dalam-dalam.
“Ternyata kamu masih ingat juga sama tempat ini.” Tiba-tiba suara Nanda terdengar di balik tubuhku. Aku pun membalikan mukaku, sedangkan Nanda terus maju dan behenti sejajar denganku.
“Kok kamu bisa kesini?” tanyaku heran.
“Tadi aku ke rumahmu namun kamu gak ada. Ayahmu yang menyambutku. Rasanya dia benar-benar benci sama aku.” Jawab Nanda panjang lebar dengan nada pilu.
“Munngkin karena kita…”
“Beda agama kan? Itu yang membuat ayahmu tak suka padaku.” Ucap Nanda memotong perkataanku dengan ketus.
Aku memalingkan tubukku ke kanan menghadap Nanda. Sedangkan Nanda masih serius menghadap danau.
“Nan… aku ingin kau percaya kalau cinta dapat menghapuskan semua perbedaan dan suatu saat cinta kita akan membuat kita terbang jauh melewati dua dunia ini, duniaku dan duniamu.” Tuturku pelan-pelan.
Nanda yang berdiri dua langkah dariku membalikan badannya kekiri. Sekarang kami saling berhadapan. Pelan-pelan dia tersenyum padaku. Manis sekali senyumannya, itu lebih manis dari yang pernah aku lihat. Rambutnya yang melambai-lambai tertiup angin itu menambah pesona kecantikannya. Lalu aku membalas senyumannya itu. Aku mersa telah menempuh setengah jalan bersama Nanda. Kemi berdua saling mencintai dan tak peduli dengan perbedaan. Aku percaya cinta ini dapat dimengerti oleh siapapun manusia di dunia.
Nanda melangkahkan kakinya satu langkah mendekat kepadaku. Sedangkan itu gerimis mulai mengundang. Kini aku dan Nanda berhadapan dan hanya satu langkah jarak kita. Nanda mendekatkan mukanya padaku, aku pun mendekatkan mukaku pada Nanda. Dekat, lebih dekat, dan semakin dekat. Kini sudah benar-benar dekat. Nanda pun mulai mendekatkan bibirnya pada bibirku perlahan-lahan. Sementara gerimis semakin menjadi-jadi.
Sial! Tiba-tiba hujan deras turun. Aku dan Nanda lari untuk berteduh di tempat yang teduh. Ah… mungkinkah itu menandakan kalau Tuhan tak mengijinkan aku melakukan hal itu? Aku menarik nafas, alhamdulillah.
***
Tak tersa ini sudah larut malam, seharian aku diajak Nanda ke panti asuhan. Ternyata Nanda bekerja di sebuah LSM yang membantu meringankan perderitaan kemanusiaan seperti korban bencana alam, anak-anak jalanan, dan anak-anak panti suhan. Sebuah pekerjaan yang paling mulia di dunuia ini. Aku tak menyangka Nanda memiliki hati sebening berlian. Apakah pantas ayahku membenci dirinya?
Aku membuka pintu rumah perlahan-lahan. Aku takut sekali bila ayahku mengetahui aku pilang larut malam seperti ini. Ruang tamu ini sangat gelap, mungkin ayah dan ibu sudah tertidur lelap aku pun melangkahkan kakiku hati-hati, aku takut mereka mendengar.
Tiba-tiba ruangan menjadi terang, lampu ruang ini menyala. Siapa yang menyalakan? Aku mengalihkan pandanganku kebelakang. Ternyata ayahku yang menghidupkan lampu. Aku melihat mukanya yang dipenuhi amarah. Seram sekali.
Dengan matanya yang melototia berjalan cepat mendekatiku. Dan…
“Deppalak….” Suara tangan ayah yang menempar pipiku dengan sangat keras.
Aku pun mengelus-ngelus pipiku dengan kesakita. Ini adalah kemarahan pertama ayah semenjak aku kecil dulu sampai sekarang.
“Kemana saja kamu hari ini?” bentak ayah padaku.
“Aku cuma ke panti asuhan yah..” jawabku sambil merintik kesakitan.
“Omong kosong! Kau pikir ayah itu bodoh? Jangan kira ayah tak melihat kalau kamu hampir saja berciuman dengan wanita itu kemarin pagi. Kalu saja hujan tidah turun, mungkin kamu akan berbuat lebih.” Bentak ayahku lebih keras lagi.
“Demi allah yah, aku tak sepicik yang ayah pikirkan. Tadi memang aku benar ke panti asuhan.”
“Alah! pasti kamu kencan dengan gadis itu. Dasar anak gak tahu diri kamu!” Bentak ayah lagi dan kembali ia menampar pipiku lebih keras.
“Ayah sudah…”Seru ibu yang langsung mencekal ayah. Aku hanya terdiam.
“Sabar yah, mungkin anak kita sedang khilaf.” Tutur ibuku dengan menangis sedih.
“Hey anak gak tau diuntung! Kalau bukan karena ibumu ini, mungkin kamu sudah habis. Asal kamu tahu saja ayah mengirimkan kamu ke pesantren untuk menjadi orang baik-baik dan mengerti agama. Tapi apa? Kau benar-benar keterlaluan. Ayah kecewa sama kamu. Dan sekali lagi kamu coba-coba bertemu dengan wanita itu, aku takkan menggapmu sebagai anak lagi.” Ancam ayahku padaku.
“Astagfirullah yah, istighfarar ya!” pinta ibuku pada ayah.”Sur, cepat kamu masuk ke kamar.” Perintah ibu. Aku pun langsung masuk ke kamar. Menutup rapat-rapat pintu kamar lalu menguncinya.
***
Sudah satu minggu lamanya aku tak menemui Nanda. Rasanya rindu ini sudah menggebu-gebu, bagai siang yang di penuhi debu dan malam yang di datangi hantu. Aku masih bingung pada perasanku ini. Aku ingin selalu bersama dirinya, namun latar belakang kita berbeda. Lalu rasa cinta ini telah merubah jalan hidup kita berdua.
Aku telah banyak mengorbankan segalanya demi memperjuangkan cintaku dan demi mempertahankan keyakinanku bahwa apa yang dipersatukan Tuhan tak bisa dipisahkan oleh manusia. Tapi mungkinkah keyakinanku itu salah?
Kemarin malam Nanda SMS kepadaku, ingin menyuruh aku untuk menyaksikan dia membaca puisi di sebuah ajang puisi. Jelas aku ingin menemuinya, tapi bagaimana dengan ayah? Apa iya dia akan benar-benar menganggapku bukan anaknya jika aku menemui Nanda?
Namun aku sudah menentukan jalan, aku akan tetap menemui Nanda. Aku rasa ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi Nanda. Aku tak boleh mengecewakannya.
Aku pun keluar kamar dengan membawa tas besar. Seketika itu ibu menghampiriku.
“Surya, kamu ingin menemui Nanda?” tanya ibu lemeh lembut. Aku hanya mengangguk pelan.
“Jika ibu tak mengizinkan, Surya akan kembali ke kamar.” Ucapku pada ibu dengan penuh keberatan.
“Ibu tidak bermaksud seperti itu. Apakah benar Nanda itu kekasihmu?”
“Benar bu, tapi jika ibu tak merestui, Surya akan mengakhirinya.” Jwabku dengan ketulusan hatiku.
“Ibu juga tak bermaksud seperti itu. Itu semua terserah Surya saja, ibu tak mau memaksakan kehendakmu. Yang paling penting buat ibu sekarang adalah kebaikan dan kebahagian kamu.” Ucap ibu dengan penuh ketulusan.
Aku meneteskan air mataku, ibuku begitu sayangnya padaku. Aku saja yang tak pernah mengerti arti ketulusan ibuku. Aku sungguh dalam kebimbangan.
“Lalu ayah bagaimana bu?” tanyaku pelan.
“Keresahan itu datang dari hati. Dan jika hati kamu sudah yakin, maka lakukanlah. Nanti ibu bicara pelan-pelan kepada ayahmu.”
“Terimakasih bu.” Ucapku lalu memeluk ibu. Aku terharu dengan perkataan lembutnya. Hati wanita memang selalu lebih lembut dari seorang laki-laki.
“Tunggu! “ Sentak ayah yang membuatku terkejut. Aku pun melepas pelukan dari ibu.
Ayah berdiri di depan pintu kamarnya yang ada disamping kamarku,”Jika kamu benar-benar pergi menemui wanita itu. Maka ayah takkan pernah membukakan pintu lagi untukmu.” Ancam ayahku.
“Sebelum ayah bisa itu aku sudah mempersiapkan. Aku takan kembali kerumah ini.” Jawabku penuh kekesalan. Lalu aku langsung melangkahkan kakiku kepintu keluar.
“Surya....” Terik ibu sambil menangis.
Aku terus melankahkan kakiku. Lalu membuka pintu keluar lalu menutupnya kembali. Maafkan aku ibu.
***
Orang-orang bilang tak ada sesuatu hal pun di dunia ini yang kebetulah. Tuhan memberikan sesutu hal pasti selalu mempunyai maksud dan tujuan. Oleh karena itu, aku bertemu dengan Nanda juga bukan karena suatu kebetulan. Tuhan yang telah mempertemukan kami. Bukankah itu suatu pertanda bahwa kami itu satu?
Aku telah lama merenung dan menunggu Nanda membacakan puisinya di panggung ajan ini. Namun ternyata Nanda membacakan puisinya terakhir kali. Aku melihat Nanda dengan anggunnya menuju ke panggung. Persis seperti ia akan membacakan puisi waktu perpisahan SD dulu.
Ternyata tanpa basa-basi Nanda langsung membacakan puisinya.
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau takan pernah mengerti segala lukaku
Karna cinta telah sembunyikan pisaunya
Bayangkan wajahmu adalah siksa
Serpihan adalah ketakutan dan kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku
Apabila aku dalam rindu dan sepi
Itulah berarti...
Aku...
Tungku tanpa api
Kau takan pernah mengerti segala lukaku
Karna cinta telah sembunyikan pisaunya
Bayangkan wajahmu adalah siksa
Serpihan adalah ketakutan dan kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku
Apabila aku dalam rindu dan sepi
Itulah berarti...
Aku...
Tungku tanpa api
Aku tak menyangka, ia membacakan puisi itu dengan begitu indahnya. Aku lantas berdiri lalu memberi tepuk tangan padanya, lalu diikitu oleh serentak orang di panggung itu memebri tepuk tangan kepada Nanda.
***
Setelah acara selesai aku menunggu Nanda di depan gedung. Nampaknya di dalam dia tengah di kerubuti banyak orang. Orang-orang yang terkagum-kagum pada penampilannya dan tentu wajahnya.
Setelah lama menunggu Nanda pun datang.
“Kamu gak papa kan sur?” sapa dan tanyanya.
“Aku baik-baik aja, selamat ya kamu udah menang.”
“Terimakasih sekali.” Ucapnya berterima kasih sambil tersenyum.
“Sur, tadikan sebelum aku tampil kta berjanji akan memberikan jawaban atas cinta kita berdua.” Ucap Nanda dengan perlahan.
Aku hanya terdiam tak menjawab.
“Kamu udah tahu jawabannya belum?” tanyanya pelan.
Aku kembali tak menjawab, aku pun membalikan pertanyaan. “Kalo kamu?”
“Jujur sampai sekarang aku juga belum tahu sur,” jawabnya lemah lembut.
“Kita memang tak pernah punya jawaban yang pasti karena setiap orang berbeda pendapat dan juga kenyakinan.” Tuturku yang membingungkan.
“Jadi...” tanya Nanda kembali.
“Kita harus berani mengambil keputusan walau kita tak punya jawaban yang pasti atau kita akhiri...? dua-duanya memang tak ada yang jelas bagi kita.”
“Sebenarnya kita masih bisa teru-terus bersama ya? Tapi pasti banyak yang terluka. Buat apa kita bahagia kalau banyak yang nangis?” ucap Nanda penuh tanya. “kamu inget gak kalau kamu pernah bilang, jodoh itu tuhan yang ngatur. Kita tidak akan tahu sampai kita hidup dengan seseorang itu.” Tutup Nanda.
Aku menatap matanya tajam-tajam. Apakah mungkin ini saatnya aku mengakhiri ini semua???
Bersambung. . .