- Back to Home »
- CERPEN »
- Cerpen: Dalam Ingatan... (Based on true story)
Namaku Ma’arif Suryadi. Aku adalah salah satu orang yang paling enggak bisa ngelupain bagaimana rasanya cinta pertama. Walaupun cinta kedua, cinta ketiga, ataupun cinta keempat pernahb singgah di hatiku, namun tetap saja cinta pertama itu yang paling indah, paling sulit dilupain.
Mungkin aku termasuk orang yang beruntung karena aku mengalami cinta pertama sewaktu aku masih kecil, tepatnya kerlas 5 SD. Dan waktu itu aku masih culun dan sangat lugu serta belum tahu apa arti cinta sebenarnya. Bahkan mengucap kata ‘Love’ pun aku belum becus.
Ceritanya berawal ketika aku dan dua sahabatku tengah asyik menikmati pemandangan pematang sawah di bawah sebuah pohon besar. Pohon besar itu menjadi tempat favorit kami untuyk saling bertukar cerita satu sama lain.
Wisnu, sahabatku yang badannya paling gemuk sampai pada perkataan yang membuat kehidupan kami bertiga selanjutnya berubah.
“Kayaknya gue benar-benar ngrasain yang namanya cinta pertama. Loe semua pasti enggak tau, tadi gue di depan toilet sekolah ketemu sama Novi, kita kenalan gitu.”
“Ya elah loe ndut, enggak di kantin, enggak di kelas, dimana-mana loe cerita Novi mulu. Bosen gue dengernya. Ngayal mulu kerjaan loe.” Potong Ilham, cowok paling ganteng di kelas. Sebenernya banyak cewek yang naksir ke dia, tapi enggak tahu kenapa dia enggak pernah peduli sama sekali.
“Eh biarin! Terserah gue. Daripada loe enggak berani kan loe ndeketin cewek?” balas Wisnu tampak kesal.
“Kok loe jadi sewot? Kalo gue mau sepuluh cewek sekaligus juga bisa gue dapetin.” Ilham tak mau kalah.
“Halah! Ngibul doang loe,buktiin!” tantang Wisnu.
Aku hanya diam. Tak tahu kenapa suasana pembicaraan mereka makin panas.
“Loe nantangin gue? Nyadar dong! Mana mau sih Novi sama cowok kayak loe?”
Aku enggak tahan lagi melihat pertikaina mereka.
“Udah kali!” aku coba melerai,”buat apa sih ribut soal cewek? Enggak penting banget tau enggak?”
“Diem loe Rif! Bilang aja enggak ada cewek yang mau deket sama loe!” ucapIlham yang membuatku kesal.
“Jaga omongan loe! Rese.” Sesegera mungkin aku melangkahkan kaki meninggalkan mereka berdua. Aku memang bukianlah orang yang suka bertikai, setiap suasana seperti itu, aku selalu mengalah. Kadang aku memilih untuk diam, namun sesekali aku memilih untuk pergi.
Malam harinya, aku tak bisa tidur. Peristiwa siang itu sungguh menyita pikiranku. Aku tak tahu bagaimana esok hari ji9ika aku bertemu mereka di sekolah. Akankah kami saling menjauhi?
Benar saja dugaanku, pagi setelah itu mereka berdua tak menghampiriku untuk berangkat sekolah bersama. Aku jadi terpakasa jalana kaki ke sekolah yang lumayan jauh dari rumahku.
Langkah kaki kecilku sampai pada jalan raya yang akan menjadi awal cintaku. Waktu aku melihat seseorang cewek yang mungkin sebaya denganku tengah berdiri tak jauh dariku. Cewek itu memang tidak begitu cantik, namun menarik. Sikapnya yang aneh membuatku mengira kalu dia takut menyebrangi jalan.
Karena alasan itu, aku putuskan untuk mendekat kepadanya. Aku berhenti tepat di sampingnya. Aku coba bersandiwara, belaga biasa saja seolah tak melihatnya. Seketika ada getaran yang berbeda ketika cewek itu terus menoleh kepadaku . Getaran apakah itu?
Jalanan sepi, aku pun menyebrang jalan. Persis seperti dugaanku, cewek itu mengikuti langkahku sampai sebrang jalan. Aku masih pura-pura tak memperhatikannya, tetap pada pendirianku yang tak ingin kaalu dia sampai tahu aku sedang menarik perhatinnya.
Lantas aku kembali berjalan, dia pun berjalan dengan arah yang berlawanan denganku. Pagi itu aku tahu, dia tak satu sekolah denganku.Namun anehnya, dia berjalan di rute yang salah. Ia berjalan disebelah kanan jalan. Aneh!
***
Sesampainya di sekolah, aku tak bisa mengingat lama-lama peristiwa yang baru terjadi padaku. Tentang cewek itu yang seketika lenyap dari pikiranku. Karena... mimpi burukku semalam jadi kenyataan. Kami bertiga jadi saling berjauhan. Wisnu yang awalnya duduk sebangku denganku, kini berpindah ke barisan paling depan. Sedangkan Ilham ada di berisan belakang. Dan aku tetap di tempat dudukku semula.
Pelajaran dimulai, ada satu hal yang Wisnu lakukan saat itu; saat semua murid tengah memperhatikan penjelasan dari guru, Wisnu malah begitu asyik dengan pekerjaannya sendiri.
“Siapa Novi?”
Wisnu langsung menyeret sebuah kertas dari mejanya kebelakang.
“Bukan siapa-siapa pak!”
“Siapa Novi?” ulang guru itu dengan nada lebih tinggi.
“Anak... anak kelas empat pak!” jawab winu terbata-bata.
“Baca surat itu di depan kelas atau kelas dari sini!”
Melihat itu sebenarnya aku kasihan. Namun kali ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi hebungan persahabatan kami sedang renggang.
“Nov, jadilah cinta pertamaku! Terimalah aku jadi pacarmu!” begitulah isi surat cinta Wisnu untuk Novi yang berhasil kuingat sampai sekarang.
***
Pagi berikutnya aku bernagkat sekolah lebih awal dari biasanya. Aku tak mau kehilangan kesempatan membantu cewek kemarin untuk menyebrangi jalan. Sesampainy di jalan raya, aku terpaku. Dugaanku salah, ternyata cewek yang aku harap sudah berdiri di tempat yang sama seperti kemarin. Aku menduga, mungkin dia berangakat lebih pagi karena mau mencontek tugas sekolah.
Aku kembali bersandiwara, seolah tak mengenalinya kemarin. Namun kala itu aku tak kuasa untuk tidak menatapnya. Aku ingin tahu warna matanya. Sial! Saat aku menoleh kepadanya, dia sedang ,enoleh kepadaku. Mata kami berdua bertemu pada satu titik, titik yang baru aku kenal untuk pertama kalinya. Aku tersenyum padanya, dia lantas membalas senyumku. Manis sekali.
Jalanan yang sepi membuatku harus bersegera menyudahi tatapan itu.lantas aku menyebrangi jalan, dan seperti yang aku harapkan, ia pun mengikuti langkahku.
“Tunggu!” sapanya ketika aku hendak beranjak darinya.
“Namaku Rika, kamu siapa?” begitu katanya. Namun aku agak sok jual mahal, akupun tak menjawab pertanyaan itu dan beranjak darinya tanpa jawaban sepatah kata pun. Hanya senyum, dan aku harap dia dapat mengerti...
Pagi ketiga berlalu, dan terhitung sejak itu, hubungan persahabatan antara aku, Wisnu, dan Ilham tak kunjung membaik. Aku sangat iba tiap kali melihat pada Wisnu. Ejak peristiwa surat bodoh itu, wisnu jadi murung. Tak pernah berkata sedikitpun. Dan tanpa belas kasihan, teman sekelas – kecuali aku – selalu menertawainya. Harusnya pada saat seperti itulah sahabat sangat dibutuhkan, tapi semua berbeda...
Sedangkan Ilham, dia malah berbahagia di atas penderitaan temannya sendiri. Kini, kemanapun ia pergi selalu bersama Yuni, kakak kelas yang kabarnya sudah jadi pacar Ilham. Mungkin Ilham telah mendapatkan cinta pertamanya. Cinta telah merubah Ilham yang tadinya minder sama cewek, kini malah jadi nempel terus sama cewek.
Lalu aku, aku belum juga mendapatkan cinta pertamaku. Mungkinkah Rika akan njadi cinta pertamaku? Ah entahlah...
***
Dan sampailah pada pagi ketiga. Kala itu aku benar-benar bertingkah sangat bodoh. Belum tepat setengah enam pagi, aku sudah menunggu Rika di tepi jalan Raya seperti biasa. Setyelah setengah jam lamanya aku menunggu, Rika pun datang. Namun kali ini justru ia yang belaga seolah tak pernah melihatku. Tatapannya kosong kedepan, tak sadarkah ia kalau ada aku di sampingnya?
Jalanan pun sepi, aku menyebrangi jalan. Ada yang aneh, Rika tak mengikuti langkahku. Baru setelah aku sampai di sebrang jalan, sebuah motor lewat. Mungkin itu alasan Rika tak itu menyebrang. Bodoh sekali, kenapa aku tak melihat motor itu tadi?
Raut wajah rika, mendadak cemas, kelihatanm takut sekali. Aku jadi bingung, apakah aku harus mengulangi untuk menyebrang jalan atau aku meninggalkan dia begitu saja?
Akhirnya, aku kembali ke tepi jalan di samping Rika.
“Kamu takut nyebrang jalan?” tanyaku spontan. Rasanya aku telah salah membuat kalimat sapaan.
Rika hanya mengangguk.
“Sebelumnya... eh gak jadi.” Aku jadi gugup.
“Aku tahu, kamu pasti bakal nunggalin aku gitu aja.”
Sungguh! aku malu sekali.
“Memangnya sebelum aku bantu kamu nyebrang jalan, gimana caranya kamu bisa nyebrang?” Sial! Aku salah lagi merangkai kata. Pasti dia berpikir kalau aku terlalu percaya diri.
“Sebelumnya aku diantar ayah ke sekolah. Tapi sekarang ayah lagi tugas di luar kota.” Jelasnya.
“Jadi, kamu baru tiga hari berangkat sekolah sendirian?”
“Iya...” jawabnya lembut.
Wah, berarti aku datang di saat yang tepat. Ujarku dalam hari, senang sekali.
“Nama kamu siapa?” suaranya yang lembut itu menggema di telingaku.
“Panggil aja Arif.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Kamu pasti sekolah di SDN Sukamekar 02.”
“Ya iyalah aku kan p0ake seragam identitas. Dan kamu juga pasti sekolah di SDN Babelan 01.” Sebuah sekolah favorit, gumamku.
Kami berdua tertawa kecil bersamaan.
“Aku kelas lima, kamu?” tanyaku.
“Sama,” jawabnya singkat.”Kakakku sekolah di sana juga loh! Kelas enam.”
“Siapa?” tanyaku panik mendengar kata kelas 6, aku jadi khawatir.
“Angga.”
“Siapa?” tanyaku kembali, memastika aku tidak salah dengar.
“Angga Wijaya.”
***
Malam itu aku kembali tak bisa tidur. Semua itu karena percakapan pertamaku dengan Rika. Harusnya aku senang semua pertanyaanku tentangnya terjawab; dia sekoalah di SDN Babelan 01, rumahnya di depan toko Usaha Sejahtera, dia sekolah naik getek agar cepat sampai ke sekolahnya yang jauh, ia berjalan di sebelah kanan karena ingin ke tempat pemberhentian getek, dan dia jiuga mempunya Kakak bernama Angga.
Angga, sejauh yang aku tahu dia merupakan anak yang sangat nakal, paling demen berantem, suka memelak adik kelas, paling ditakuti semua siswa, dan masih banyak hal menakutkan tentang dirinya yang membuat aku jadi tertekan. Bagaimanakah nasib cinta pertamaku pada Rika? Mungkinkah cintaku akan kandas gara-gara kakaknya itu? Pilih hidup atau mati? Jika aku menjauhi Rika maka aku akan tetap hidup, dan jika aku mendekati Rika pasti aku akan mati. Tidak... tidak! Oke, aku akan menjauhi Rika.
Keputusan untuk tidak lagi mencoba mendekati Rika udah bulat. Untuk itu, pagi berikutnya kau berangkat lebih siang. Aku tak menemui Rika ditempat biasa. Dan pagi itupun aku mengambil keputusan untuk kembali pada kenyamananku; memperbaiki hubungan dengan kedua sahabatku.
Saat di kelas, aku menyuruh Ipul – teman sebangku Wisnu – untuk pindah dari tempat duduknya. Tampaknya Wisnu mengacuhkan kehadiranku.
“Baru kali ini kita marahan lebih dari tiga hari, padahal guru ngaji kita sering bilang kalo marah sama seseorang tidak boleh lebih dari tiga hari.” Aku berusaha membujuk Wisnu untuk bicara.
“Kata siapa gue marah sama loe lebih dari tiga hari?”
Aku sedikit bingung.
“Kita kan sahabatan, tanpa perlu loe minta maaf, gue udah maafin loe kok Rif.”
“Jadi?”
“Santai Bro!” kata Wisnu sambil menepuk-nepuk punggungku.
Aku tertawa. Wisnupun tertawa. Tapi...
“Lalu gimana sama Ilham?”
“Dia menang. Gue bego banget. Haruisnya gue nyadar, gue gak ada apa-apanya dibanding Ilham. Bener kata Ilham, mana mau Novi sama gue?”
Aku diam. Rasanya aku dan Wisnu punya nasib yang sama. Cinta pertama kita sama-sama kandas.
***
Sudah lewat tiga hari aku tak bertemu dengan Rika. Akun pikir dengan tak menemuinya, aku kan lebih baik, tapi ternyata tidak. Semakin aku berusaha menjauhinya, dia semakin terasa dekat. Tapi belum tentu juga jika aku menemuinya, aku akan jadi lebih baik dari sekarang. Bisa saja aku malah bakal jadi lebih menderita.
“Mana yang namanya Arif?” tiba-tiba ada sura keras yang masuk ke kelas. Aku memastikan kalau aku tidak salah lihat. Itu... Angga.
Semua anak sekelas cari mana, mendadak mereka semua menatap kepadaku. Sial! Jahat sekali mereka. Habis riwayatku.
Angga menedekat kepadaku.
“Kamu yang namanya Arif?” Angga berkata dengahn garangnya.
Aku diam.
“Kalo ditanya jawab! Cari mati loe?”
“Iya... iya ka, aklu Arif.” Jaweabku dengan terbata-bata.
“Loe inget sama adek gue?”
“Inget kak.” Aku makin ketakutan.
“Pas bel istirahat pertama loe harus ke toilet, gue bakal nungguin loe disitu. Kalo loe sampe gak dateng, mati!” ancamnya.
Setidaknya kalimatk itu sudah berhasil buat aku jadi orang paling idiot sedunia. Dan saat bel istirahat bunyi, aku langsung bergegas pergi ke toilet.
“Bagus! Akhirnya loe dateng juga.”
Ternyata dugaanku salah. Itu lebih menyeramkan dari yang kukira. Angga membawa empat temannya. Sedangkan aku...
Angga mendekatkan tubuhnya padaku, sedanglan aku terus mundursampai badanku menempel di tembok.
“Gue tanyain sama loe, jangan macam-macam sama adek gue!”
“Ya kak!” Jawabku singkat, aku merasa tak bernafas lagi.
“Gue tanya sama loe, suka gak loe sama adek gue?”
“Suka banget.” Ups! Mampus, aku keceplosan.
“Beneeer?” tanyanya dengan mata melotot yang sangat menakutkan.
“Sumpah kak!”
“Bagus. Adek gue udah cerita semuanya tentang loe. Adek gue buta kali ya, tertarik sama cowok kaya loe.”
Aku diam. Ya Tuhan tolong aku...
“Maaf kak, gue enggak akan lagi ndeketin adek loe.”
“Bukan itu yang gue minta, bodoh! Gue minta loe nembak adek gue, atau kalo enggak... loe mati!”
Hah? Aku enggak salah denger? Batinku.
“Kok diem aja, mau mati loe?”
“Iya kak, gue bakal nembak adek loe secepatnya. Dan gue janji, gue gak akan ngecewain adek loe.”
“Semangat!”
“Ea elah, mau mati aja masih dikasih semangat.” Gumamku lirih.
“Apa loe bilang?”
“Enggak kak!”
***
Aku tak tahu harus sedih atau bahagia. Aku memang suka sama Rika tapi aku belum siap untuk mengatakannya. Bagaimana jika dia menolakku? Belum lagi jika nanati aku jadian sama dia, terus aku ngecewain dia, bisaa abis aku sama kakaknya.
“Arif...” lamunanku buyar ketika ayah memanggilku. Aku keluar rumah.
“Tar... raaa....”
“Itu sepeda buat aku, Pa?”
Kini aku punya sepeda. Berkat sepeda itu aku tak lagi harus menunggu Wisnu menghampiriku. Aku menemukan duniaku, duniaku sendiri yang baru aku kenal.
“Hai, sendirian aja nih?” kataku sesampainya di jalan raya pagi itu.
Rika menoleh kepadaku, nampaknya dia agak terkejut. Karena sepeda baruku, mungkin.
“Masih takut nyebrang?”
Ia mengangguk sambil tersenyum.
“Kemana aja kamu kemaren-kemaren?”
“Ada deh! Hehe.”
“Padahal setiap pagi aku nungguin kamu.”
“Ah gombal!” jawabku enteng.
”Sepeda baru?”
“Aku anterin ke sekolah yuk!”
“Sekolahku kan lumayan jauh, nanti kamu telat loh!”
“Naik aja dulu! Kalo belum coba kita gak akan tau.”
“Sok puitis. Haha...”
Rika pun naik ke boncengan, aku mengayuh sepeda kencang sekali.
“Kenceng banget naik sepedanya. Aku kan udah bilang, pasti kamu bakal telat.”
“Telat masuk sekolah itu enggak papa, yang aku takut itu telat buat nembak kamu.”
“Maksudnya?” Rika nampakn sangat bingung.
Pagi itu aku menyatakan perasaanku. Bukan semata-mata karena ancaman dari Angga, tapi aku benar-benar cinta padanya.
“Aku suka kamu.”
“Apa?”
“Apaaa aku gak denger!”
“Aku suka kamuuu...”
“Cantik-cantik budeg ih...”
“Nyebelin...” jawabnya manja,”aku juga suka kamu kok.”
Kalimat terakhir itu seperti sihir yang seketika menerbangkan hatiku. Aku sangat bahagia. Bahagia sekali.
***
Ternyata cinta benar membuat hari-hari kita menjadi lebih menyenangkan. Sejak aku jadian sama Rika, setiap pagi aku menghampiri Rika berangkat sekolah. Namun sejak itu pula, aku selalu terlambat masuk sekolah. Untungnya ada Wisnu yangselalu membelaku di hadapan Pak Guru, walaupun sampai sekarang Wisnu tak tahu mengapa aku selalu terlambat. Aku bahkan tidak menceritakan kepadanya kalau aku sudah mendapatkan cinta pertamaku.
Rika merupaka cewek pertama yang jalan berdua bareng aku. Rupanya dia suka sekali jajanan. Katanya dia paling suka sama duren, pantas ketika beli Es Krim dia pilih rasa duren, padahal aku paling enggak suka sama buah itu. Tapi demi dia, aku bela-belain habisin es krim itu dan sampai di rumah aku muntah-muntah sampe perut kosong dan enggak bisa muntah lagi.
Bersama Rika, aku pertama kali belajar renang, pertama kali naik getek dan komedi putar, pertama kali foto berdua, dan pertama kali beli dompet di pasar malem. Dan aku jadi punya kebiasaan baru, sering buka dompet ketika aku pengen ketemu sama Rika karena ada foto Rika di dalam dompet itu. Selain itu, aku jadi rajin bermain ke rumahnya tiap pulang sekolah. Dan sesekali Rika main ke rumahku. Hanya sekali dan dia langsung kapok. Itu karena rumahku ada di komplek perumahan yang hampir rumah dan jalan-jalan yang ada nyaris sama atau sepadan. Rika hampir nyasar gitu.
Hari-hariku aku jalani bersama Rika. Aku sampai lupa kalau aku masih punya dua sahabat; Wisnu yang selalu aku cuekin dan Ilham yang semakin menjauh dariku. Hubunganku sama Rika baik-baik saja, sampai suatu pertanda bahaya datang...
“Rif, kamu sering ya ke pohon besar ini?”
“Dulu tempat ini adalah tempat favoritku dan sahabatku.”
Aku mendadak ingat pada Wisnu dan Ilham. Sedang apa ya mereka sekarang?
“Dua sahabat yang sering kamu ceritakan itu?”
Aku mengangguk lemah. Aku rindu pada mereka. Sungguh sangat rindu.
“Udah jadi gambarnya?” Rika berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku tahu, dia tak ingin membuatku larut dalam kesedihan.
“Bentar lagi ya...”
“Kapan-kapan ajarin aku nggambar yang bagus ya!”
“Iyaaa...” jawabku sekenanya.”Liat deh!” aku memperlihatkan gambaranku pada Rika. Itu adalah gambaran sosok Rika yang sedang duduk di bawah pohon, persisi seperti saat itu.
“Cantik bangeeet...” nampaknya dia senang.”Tapi sayang, nggak bisa kamu cium.” Candanya.
“Kamu juga enggak bisa nyium aku.” Candaku balik.
Aku terkekeh. Namun tiba-tiba kurasakan sebuah bibir mencium pipiku. Itu ciuman Rika untukku. Dunia seolah berhenti seketika. Hanya aku dan dentingan romantis piano khayalanku.
Lamunanku pecah! Seketika suara petir menggema di telingaku. Kami berdua memutuskan untuk pulang. Aku lari sekencang-kencangnya menembus hujan yang tiba-tiba datang dengan derasnya. Aku mendekap gambaran tadi erat-erat, seolah aku takut kehilangannya.
Sampailah aku di rumah. Aku begitu sedih ketika kulihat gambaranku sudah luntur terkena air hujan. Aku takut... takut sekali. Firasat buruk merasukiku. Dan...
“Mama, liat deh dompetnya Arif! Foto siapa coba?” suara kakak perempuanku di ruang keluarga. Aku yang baru saja berganti pakaian, langsung menghampiri asal suara itu. Aku terlambat. Ketika aku sampai, aku melihat wajah ibuku yang tak biasa. Dia marah... marah sekali. Dan foto itu sudah terobek di atas lantai.
Hari itu aku menangis tiada henti. Malamnya aku mimpi buruk. Paginya aku tidak berangkat sekolah. Tak keluar dari kamar sama sekali. Ketika ayah bertanya, ibu hanya menjawab,”Aku juga enggak tahu kenapa Arif menangis terus.” Dan ketika Wisnu ingin menjengukku, ibu berkata,Aarif lagi enggak pengen ketemu siapa-siapa, besok aja ya njenguknya!”
Sampai tiga hari aku masih menangis. Aku berhenti menengis di hari keempat, ketikab juga ikut menangis.
“Arif, maafin mama yaaa...”
Sejak saat itu aku memutuskan hubunganku dengan cinta pertamaku, Rika. Namun dia mempertahankanku menjedi seorang sahabat. Itu semua karena dia berbeda, dia lain dari yang lain. Aku tahu, aku tak tak pernah salah untuk mencintainya.
Waktu terus berjalan. Wisnu tak pernah sekalipun mendapatkan Novi. Dan Ilham tak lagi bersama Yuni. Kita bertiga kembali jadi sahabat. Peristiwa perpisahan sementara waktu itu menjadi pelajaran bagi kami, kami jadi semakin akrab dan terbuka satu sama lain. Dan pohon besar itu ditebang untuk perluasan area perumahan.
Aku terus bertanya, apakah orang sepertiku bisa mendapatkan cinta sejati? Aku akan terus mencari jawabannya...
T A M A T