(Karya: Ma'arif Suryadi)

Tepat hari ini, Rama beulang tahun yang keenam. Dia adalah anak kecil yang malang. Ia ditinggal oleh kedua orang tuanya yang meninggal akibat kecelakaan Bus Kota saat ia berusia empat tahun. Tidak banyak kenangan yang bisa diingat oleh Rama kecil tentang kedua orang tuanya,bahkan Rama tidak ingat betul wajah kedua orang tuanya. 

Rama kini tinggal bersama pamannya, Wisnu. Wisnu itu masih sangat muda, baru berumur 26 tahun. Namun sampai sekarang  masih hidup sebatang kara,  itulah alasan mengapa ia mengadopsi Rama. Wisnu berkerja sebagai pedagang kaki lima yang menjual empek-empek di sebuah trotoar ibukota. Ia dan Rama tinggal bersama dalam rumah kumuh yang hanya berdinding papan triplek di pinggiran ibukota. Wisnu berjualan mulai petang hingga tengah malam dan meninggalkan Rama kecil sendirian tiap malamnya.

“Rama… paman punya sesuatu nih.” Seru Wisnu sambil berjalan hati-hati. Rumah wisnu berlantai dua, dan semuanya terbuat dari triplek. Maka ia harus jalan pelan di lantai dua agar rumahnya tidak ambruk.

“Iya paman, ada apa?” jawab Rama yang tengah menonton tv using yang gambar layarnya masih hitam-putih.

Wisnu duduk, ia mengangkat Rama dan mendudukan di pangkuannya .

“Kamu tau gak ini hari apa?”

“Aku kan gak pernah tau hari paman.”

“Kan paman pernah ngajarin nama-nama hari. Ya udah deh, sekarang itu kamu Ulang Tahun. Rama udah enam tahun. Nih paman kasih coklat!” Wisnu memberikan coklat, Rama langsung menarik coklat itu.

“Yeeeeach! Asyik. Makasih paman,” Rama terlihat gembira.

“Kamu mau enggak paman ajak ikut jualan?”

“Nggak ah paman! Ntar malem Rama mau dateng k eulang tahunnya Rafi. Itu loh paman yang Rumahnya kaya istana. Pasti disana banyak makanan deh! Lagian kalo jualan pasti pulangnya malem, Rama pasti nanti ngantuk”

“Ya udah deh kalo nggak mau. Tapi jangan nakal ya di rumah Rafi,”

“Kan Rama enggak pernah nakal,” protes Rama,”Paman! Rafi itu kan seumuran sama Rama, dia udah sekolah TK kok Rama belum? Kata Rafi juga dia besok mau SD. Terus Rama kapan sekolahnya? Rama kan mau diajarin nama-nama hari, ngitung tanggal biar Rama tahu kapan Rama ulang tahun.”

Wisnu diam. Ia terkejut mendengar pernyataan keponakannya yang ingin sekolah.

“Begini Rama, sekolah TK itu enggak wajib. Rama nanti langsung masuk SD aja, kaya si David dulu. Dia juga langsung SD.” Jawab Wisnu bohong, ia hanya berusaha menghibur Rama.

“Beneran paman?” Rama kembali terlihat senang

“Iya…”  jawab Wisnu sambil memeluk Rama kecil di pangkuannya.
***

Hari berikutnya, pukul setengah enam sore. Wisnu mendorong gerobaknya sambil memukul-mukul kaca gerobak dengan sendok, berharap ada satu dua pembeli yang menghampirinya.  Ia melalui jalan menuju lapangan utuk menemui Rama dan menyuruhnya pulang ke Rumah. Seperti biasanya, hampir setiap sore Rama bermain sepak bola di lapangan tersebut.  Namun tampaknya kali ini Rama tidak bermain bola karena ia membawa layang-layang saat pergi, sekarang sedang musim layangan.

“Raf, aku mau pulang dulu ya! Sebentar lagi pasti paman dateng,” kata Rama sambil menggulung benang layangannya.

“Yah payah! Tanggung nih. Kita kan belum adu layangan,” protes Rafi.

“Kan biasanya aku juga kalah, benang punyamu kan kan lebih mahal. Gini deh buat minta maaf, kamu mau empek-empek kan? Nanti aku maintain sama paman.”

“Oke deh lumayan! Gitu dong. Hehehe”

Rama lega mendengarnya.

“Itu paman udah datang, pasti sebentar lagi dia bilang…” tunjuk Rama.

“Rama… pulang udah sore!” Panggil Wisnu dari tepi lapangan sambil mengayunkan lengannya. Rama lantas menghampirinya.

“Paman aku bungkusin satu dong empek-empeknya!” pinta Rama.

“Tumben, bukannya kamu enggak doyan empek-empek?  Pas pertama nyoba, kamu bilang itu makanan paling buruk sedunia?”

Rama memang tidak doyan empek-empek.

“Itu buat Rafi paman, kan gantian. Kemaren malem, Rama kan makan banyak banget di ulang tahunnya! Boleh kan paman?” bujuk Rama.

“Oh gitu, ya boleh lah!”

Wisnu langsung membungkus empek-empek dari panic ke palstik.

“Yang banyak ya paman!”

“Nih! Tapi abis ini langsung pulang trus mandi.” Wisnu member satu bungkus empek-empek pada Rama.

“Tenang paman. Aku ke Rafi dulu ya!” Rama lari kea rah Rafi yang sedang menggulung benang layangannya.

Sedanngkan Wisnu kembali mendorong gerobaknya.

***

Sore itu Rama tidak bermain. Ia ingin meminta sesuatu kepada Pamannya. Ia menghampiri pamannya yang sedang menata empek-empek ke dalam gerobak.

Rama langsung memeluk Pamannya dari belakang. Karena ia kecil dan pamannya jangkung, pelukannya hanya mengenai bagian pinggang pamannya. Itulah cara Rama agar permintan pada pamannya di kabulkan.

“Paman udah paham kalo Rama begini, pasti ada maunya.” Tebak Wisnu, ia terus menata empek-empek.

“Paman, malem ini jangan kerja ya!”

Wisnu kaget mendengarnya. Ia berhenti  dari pekerjaannya. Ia lantas membalik tubuhnya. Dan mengangkat tubuh rama yang kecil dan meletakannya bagian papan gerobag.

“Ada apa hem?” tanyanya sambil senyum pada Rama.

“Gini paman, nanti ada paser malem. Rama kan belum pernah ke pasar malem. Rama pengen liat-liat. Lagian kan kalo malem Rama gak pernah keluar. Paman juga belum pernah ngajak Rama jalan-jalan.” Kayanya Polos.

“Enggak bisa Rama, paman harus kerja. Kalo paman nggak kerja, besok Rama mau makan apa?”

“Ya udah deh kalo paman nggak bisa, biar Rama seniri ke pasar malem gimana?”

“Kamu itu masih kecil Rama… nanti kalo kamu ilang gimana?” Kata Wisnu lembut.

“Enggak bakal paman, Rama enggak sendiri. Rama ikut sama Rafi, kan ada mama sama papanya Rafi,” elak Rama.

“RAMA! KAMU BISA DIBILANGIN ENGGAK SIH? KALO PAMAN BILANG ENGGAK BOLEH, BERARTI ENGGAK BOLEH!” Bentak Wisnu untuk pertama kalinya pada Rama kecil.

Rama melomapat turun dari papan gerobak. Ia merasa takut pada kemarahan pamannya.

“Paman enggak sayang lagi sama Rama!” Tukas Rama dan langsung lari ke dalam rumah.


“RAMA! Dengerin paman dulu!” teriaknya yang sia-sia. Sebenarnya ia ingin menjelaskan pada Rama kalau tak mungkin pergi ke pasar malem tanpa uang. Pikirnya, seorang anak kecil pasti tertari dengan apa yang ia lihat di pasar malem. Dan Wisnu sangat tak sampai hati jika nanti Rama menginginkan sesuatu disana dan ia tidak bisa memberikannya. Ia tahu, ia tak punya cukup banyak uang. 

Anak kecil memang tak pernah mengerti apa yang dirasakan oleh orang dewasa

Wisnu memukul gerobaknya dengan keras sampai bergoyang. Ia sangat kesal. Ia merasa sebagai paling tak berguna di dunia. Ia bahkan tak pernah bisa memberi apapun pada Rama

***

Malam harinya, Rama terus mengurung diri di kamar. Ia sedih karena permintaan kecilnya tidak dikabulkan oleh pamannya. 

Pintu kamar terbuka. Wisnu masuk. Ia melihat Rama yang meringkuk di atas kasur lantai. Ia tahu, Rama sedang kecewa padanya. Karena itu dia mejatuhkan tubuhnya di samping Rama. Ia lantas memeluk Rama erat-erat.

“Rama, maafin Paman ya!”

Rama tidak menjawab, bahkan tidak bergerak sekalipun.

“Rama tau enggak alasan kenapa Paman malem ini nggak kerja?” Wisnu menarik nafas dalam-dalam,”Paman mau ajak Rama ke pasar malem, Rama mau enggak?”

Rama spontan bangun,”Beneran paman?”

Wisnu mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu, Rama pasti sangat senang mendengarnya.

“Kalo begitu ayo, nanti keburu tutup…” ajaknya, ia menarik-narik lengan pamannya yang masih di kasur.

Mereka berdua bergegas berangkat. Pasar malam tak jauh dari rumah. Wisnu jalan kaki. Dan Rama kecil  menaiki punggung Wisnu.  Rama sangat senang jika di gendong.

Sesampainya di pasar malam, Rama menaiki komedi putar. Itu untuk pertama kalinya. Dan ia sangat takut namun juga senang. Sedangkan Wisnu hanya menunggu di bagian loket. Dengan hanya satu orang yang naik, itu dapat menghemat uangnya.

Disana, Rama sangat ingin mencoba banyak permainan seperti istana balon, mobil mini, dan lain-lain. Tapi pamannya mengajaknya pulang. Jadi ia hanya berkeliling sebentar, lalu menaiki komedi putar, dan minum Pop Ice sebelum pulang.

Perjalanan pulang, sama seperti waktu berangkat. Wisnu menggendong Rama di punggungnya.

“Paman tadi nggak nyoba sih, komedi putarnya kan keren banget!”

“Paman kan bukan anak kecil lagi, nanti dimarahin sama yang punya.”

“Kapan-kapan kalo ada pasar malem lagi, kita dateng ya paman…”

“Ia paman janji.” Tukas wisnu berusaha membuat Rama senang.

Tak ada yang lebih menyenangkan daripada membahagiakan orang yang kita sayangi. Itulah kebahagian sejati menurut Wisnu sejak Rama kecil ada di hidupnya. Demi orang yang dia sayangi, dia rela melakukan apapun.

***

Pukul setengah satu dini hari. Wisnu mendorong gerobag empek-empeknya yang kini telah ludes terjual. Perjalanan pulang yang panjang baginya, namun ia telah terlatih berjalan berkilo-kilo meter  jauhnya setiap harinya.  Entah kenapa kali ini ada seseatu hal yang membuat langkah kakinya bergerak cepat ke rumah. Ia ingin segera sampai rumah.

Langit malam gelap kelam. Namun di salah satu sisinya terlihat merah membara. Merah membara? Itulah yang sejak tadi menjadi pertanya dalam hati Wisnu.

Perjalanan ke rumah tidak jauh lagi, kepulan asap terlihat diantara langit yang kemerahan tadi. Dan bau sesuatu yang terbakar tercium di hidung Wisnu. Dan beberapa suara teriakan histeris yang aneh mengganggu telinganya. Ia meletakkan gerobagnya begitu saja di tengah jalan. Dan ia langsung berlari kencang.

Ternyata benar dugaanya, komplek rumah miliknya tengah di lahap api yang sangat besar. Beberapa orang menangis histeris memandangi rumahnya yang terbakar. Beberapa ada yang menyiramiapi dengan seember air, dan itu tidak ada gunanya. Dan Rama…

Rama terjebak dalam kebakaran itu, pikir Wisnu. Ia pun menyusup ke kerumunan warga. Ia ingin menyelamatkan Rama.

“Rama…. Rama… Rama… ” teriak wisnu berulang-ulang

Tak ada jawaban. Beberapa orang memandanginya. Dan seseorang menahan tangannya.

“Sudah pak, ikhlaskan. Dia tak mungkin selamat.”

Wisnu dengan sekuat tenaga melepas tangannya dari orang yang menggenggamnya. Ia pun berlari ke kobaran api, melewati beberapa papan yang belum terbakar.

“Rama… kamu diamana”

Di lantai dua, pikirnya. Ia pun bergegas naik. Ada bagian Rumahnya yang belum terbakar. Mungkin ada harapan Rama masih selamat.

Wisnu masuk ke kamar. Ia meliahat Rama duduk sambil menangis.

“Panas… paman… panas paman.” Kata Rama terisak-isak dalam tangis ketakutannya

“Rama kamu akan baik-baik aja.” Wisnu langsung memeluk keponkannya dan membawanya keluar dari kobaran api tersebut.

Beberapa orang mengkhatirkan kenekadan Wisnu. Dan kini mobil pemadam kebakaran telah datang. Dan atas perintah seseorang, petugas kebakaran mengguyur rumah Wisnu terlebih dahulu. Berharap Wisnu dan keponakannya bisa selamat.

Dan tangis haru warga pun pecah seketika. Wisnu berhasil keluar dari kobaran api yang membakar rumah, kini tinggal puing-puing. Tidak hanya itu, ia berhasil membawa Rama dalam pelukannya. Rama pingsan, dia masih hidup.

Dan mobil ambulans datang, Wisnu langsung memasukkan Rama ke mobil tersebut. Ia sangat khawatir pada Rama. Ia tak bisa mengbayanhkan kalau harus kehilangan Rama, satu-satunya orang yang ia punyai sekarang. Ia selalu berdoa dalam hatinya, semoga semuanya baik-baik saja…

***

Rama berhasil selamat dari insiden kebakar tersebut. Ia bahkan tak mengalami luka bakar sedikitpun. Ia hanya menghidup banyak asap yang membuatnya jatuh pingsan. Itu membuat Wisnu  sang paman sangat lega.

Setelah kebakaran tersebut, mereka tinggal di tenda pengungsian sampai ada bantuan untuk kembali membangun rumah mereka. Tapi tidak, sebulan kemudian pemerintah membawa semua warga yang rumahnya terbakar untuk tinggal di rumah susun. Rumah yang jauh  lebih baik dari sebelumnya. 

Senja itu, Wisnu mengajak keponakannya untuk mengelilingi  jalanan ibukota dengan sepeda. Wisnu memboceng Rama di bagian belakang. Ia mengayuh sepedanya pelan-pelan.

“Paman, selingkunh itu apaan sih?”

Wisnu terkejut mendengar pertanyaan keponakannya.

“Kenapa kamu tanyanya begitu?”

“Abis Rama kasian liat Rafi yang sedih terus, kata dia mamanya selingkuh. Terus papanya ninggalin dia sama mamanya. Rama kan gak tau selingkung itu apa? Dan kenapa papanya Rafi ninggalin Rafi sama mamanya?”

“Paman juga enggak tau, paman kan belum nikah.” Kata wisnu bohong,”kalo nanti kamu udah gede dan udah nikah… pasti kamu tahu.”

“Kalo begitu, Rama pengen cepet-cepet gede biar bisa menghibur Rafi. Selama ini Rama kira hidup Rafi selalu bahagia, dia punya semuanya, dia kan kaya. Tapi ternyata enggak juga…”

Wisnu tersenyum.

“Rama, paman bilangin ya… Kalo bahagia itu bukan karena uang. Nyatanya Rama bahagia kan bareng paman, walau paman gak punya uang?”

Tiba-tiba sepeda berhenti.

“Kenapa paman?”

“Kayaknya rantainya putus deh. Kita tuntun ke bengkel aja yuk!”

“Tapi kan disini enggak ada bengkel. Rama males jalan.”

“Kamu tetep duduk di sepeda. Biar paman yang nuntun sendiri.”

Rama tampak senang mendengarnya. Wisnu pun menuntun sepeda itu. Ia menaikannya ke atas trotoar.

“Sekarang Rama ikhlas kok nggak sekolah, pasti paman nggak punya duit.”

“Kenapa Rama ngomong begitu? Paman pasti sekolahin Rama. Kan SD gratis. Ada wajib belajar 9 tahun.”

“Rama enggak ngerti.”

“Pokoknya bulan depan Rama bakal sekolah.”

“Asyikkk… Jadi Rama bakal ketemu temen-temen baru.”

“Tentu donk.”

Wisnu berhenti di atas sebuah jembatan.

“Lihat deh sungainya. Keren ya!” kata Wisnu.

“Ah gak keren. Aku lebih suka sama matahari merahnya. Ternyata langit merah belum tentu bahaya ya paman?”

Wisnu tersenyum. Ia paham, Rama masih ingat tentang kebakaran itu.

“Paman. Aku pengen naik gedung yang paling tinggi itu.” Rama menunjuk sebuah gedung tinggi.

“Kalo begitu ayo kita kesana!”

Wisnu mendorong sepeda sambil berlari kecil. Itu membuat Rama sangat bahagia.

Jakarta tak seburuk yang orang lain kira. Masih ada keindahan di setiap sudutnya. Asal kita mau melihatnya dengan cinta.

***

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -