(Karya: Ma'arif Suryadi)

Menjadi orang dewasa bukanlah keinginanku sejak dulu. Kesendirian, kesepian, dan keheningan telah menjadi teman sehari-hariku. Aku sangat membenci kehidupanku saat ini. Kehidupan menyebalkan yang mau tidak mau harus aku lalui. Aku tak pernah punya waktu untuk bersenang-senang. Mungkin aku punya waktu untuk itu, tapi aku tak pernah merasa senang. Kerena itu aku menyibukkan diriku, semua waktuku untuk bekerja.

Aku seorang penulis skenario sebuah sinetron stripping yang tayang setiap harinya. Kadang aku mual harus terus menerus berada di atas kursi, menatap layar monitor, dan meletakan jariku di atas keyboard setiap harinya. Tapi hanya itulah yang aku bisa. Aku tak punya pilihan lain. Aku tak bisa membuat sesuatu dengan sempurna kecuali pekerjaanku, menulis cerita. Berkhayal, memeras otak, mengkondisikan perasaan, ketiga itu yang bisa aku perbuat. Dan terkadang aku ingin bisa hidup layaknya cerita yang aku buat sendiri.

Ini adalah lebaran. Malam menggembirakan bagi sebagian besar orang. Itulah yang aku lihat di luar kaca mobilku. Aku bisa melihat orang-orang dengan wajah gembira, berkeliling membawa obor, petasan, kembang api, dan sebagian yang lainnya bertakbiran. Sungguh momen berharga yang harusnya aku dapatkan.  Tapi tidak, aku sudah sekitar tiga tahun tidak mendapatkan momen itu. Namun entah kenapa, aku belum bisa terbiasa dengan perasaan ini. Perasaan orang dewasa yang jauh dari keluarga saat malam lebaran…

Aku ingin segera sampai ke kampung halamanku. Tapi jalanan macet. Dan sudah tiga jam lamanya mobilku hanya bergerak selambat semut. Saat mobilku tak bisa bergerak seperti ini, yang bisa kulakukan hanyalah melihat langit untuk mengusir rasa jenuh. Melihat bayangan lukisan langit dengan cahaya bulan dan kerlap-kerlip bintangnya. Berharap ada bintang jatuh untuk aku bisa membuat permohonan: aku tak ingin jadi dewasa.

Aku jadi ingat kenangan masa kecilku. Saat aku masih berumur lima, enam, atau tujuh tahun. Aku bangun saat fajar menjelang, lebih awal dari biasanya. Aku sesegera mungkin ke ruang tamu. Mencicipi aneka makanan khas lebaran: nastar,bolu, agar-agar, manisan, goreng-gorengan, dan masih banyak lainnya. Lalu aku mencoba baju baruku dan semua yang menempel di diriku adalah baru. Dan aku memamerkannya pada teman-temanku. Semua dengan wajah gembira, itulah lebaran yang tahu waktu itu.

Tentu semua itu hanya ada dalam ingatanku. Dan lebaran beberapa tahun belakangan ini amatlah berbeda. Aku harus terjebak dalam kemacetaan saat malam di malam orang-orang bersuka cita. Dan aku akan sangat kelelahan di pagi harinya, yang harusnya semua orang merayakan kemenangan. Suatu tempat dimana dulu aku berlibur setelah lebaran, kini menjadi hal yang biasa saja. Semua telah berubah ketika aku dewasa.

Ingatanku terhenti ketika suara klakson menyuruh mobilku untuk berjalan beberapa meter, dan setelah itu kembali berhenti.

“Tok tok tok…”

Suatu suara mengagetkanku. Seorang anak kecil mengetuk jendela kaca mobilku. Dari bajunya yang lusuh, dan mukanya yang memelas, aku tahu dia seorang pengemis

“Pak, minta amalnya untuk lebaran. Kasihanilah saya…” kata anak kecil pengemis itu memelas.

Aku tak sampai hati mendengarnya. Dia, mungkin lebih menderita daripada yang aku rasakan saat ini. Lantas aku membuka kaca mobilku. Mengambil uang dari saku bajuku. Uang seratus ribu rupiah aku berikan pada anak kecil itu.

“Terima kasih banyak pak, semoga bapak selamat sampai tujuan. Dan semoga Allah membalas kebaikan yang bapak berikan pada saya…”

Aku tersenyum padanya. Ia tampak senang.

“Tunggu dek!”

Anak itu tampak bungung.

Aku kembali mengambil uang seratus ribua dari sakuku. Aku berikan padanya.

“Tidak usah pak, yang tadi sudah cukup!” anak itu menolak dengan halus.

“Ambil aja, ini buat beli baju baru. Kamu pagi besok enggak usah ngemis dulu. Kamu setelah ini beli baju koko sama sarung ya! Dan paginya kamu ke masjid buat shalat Ied.”

“Makasih pak! Bapak sungguh baik. Semoga macetnya enggak lama, dan bapak bisa kumpul  bareng keluarga paginya.”

“Itu yang saya harapkan,” tukasku sambil melemparkan senyum padanya.

Anak itu pergi. Sungguh sangat tak tega aku melihatnya. Dia tak seberuntung aku waktu kecil. Kenapa? Aku selalu saja mengeluh. Aku jarang berfikir kalau sebenarnya hidupku jauh lebih baik dari pada anak itu. Entahlah, setiap kisah pasti ada kepahitannya masih-masing.

Aku mungkin bukan orang miskin. Aku bisa membeli apa yang aku inginkan. Tapi tidak, aku tidak bisa membeli kebahagiaan. Mungkin saja anak tadi tak punya apa-apa, tapi dia punya kebahagiaan sendiri yang tak aku punya sekarang. Setiap sesuatu pasti ada kebaikannya. Hanya saja aku belum menemukan sisi baik dari hidupku sekarang.

***

Pukul delapan di pagi Idul Fitri. Suara petasan maupun kembang api bergerumuh dimana-mana. Orang-orang sudah keluar masjid. Tapi aku masih dalam perjalananku. Aku sudah tak sabar ingin cepat-cepat sampai rumah. Aku rindu dengan keluargaku setelah satu tahun tak bertemu. Aku rindu wajah bahagia mereka. Dan aku pun ingin mengunjungi tetangga-tetangga sekitar rumahku untuk bersilaturahmi. Itu seperti oase dimana aku jarang sekali bersosialisasi dengan orang beberapa tahun belakangan ini.

Aku telah sampai di kampong halamanku. Pintu gerbang terbuka, begitu juga dengan pintu rumah. Karena hari ini memang seharusnya seperti itu. Mobilku memasuki halaman depan. Aku memarkirkankan. Kemudian aku membunyikan klakson mobil, agar orang yang di dalam rumah tau aku sudah pulang.

Aku keluar mobil. Sementara itu, beberapa orang keluar dari rumah. Seoarng wanita dan anak kecilnya.

“Papa…” anak kecil itu menghampiriku. Ia langsung memelukku, dan aku sepontan membalas pelukannya.


“Wah anak papa udah gede,” kataku sambil meremas pipinya yang menggemaskan.

“Coba tebak umur Farrel udah berapa?”

“Empat tahun, dan baru masuk playgroup, bener kan?”

“Itu pasti mama ngasih tau lewat telpon.”

Aku kembali memeluk Ferrel, lalu aku menggendongnya.

Seorang wanita menghampiriku. Iya mengulurkan tangannya. Aku mebalasnya, dan iya menciup tanganku.

“Apa kabar Bunda?” sapaku  padanya

“Baik Ayah,” ia membalasnya dengan lembut,”ayah masuk aja dulu, bunda udah masak yang special. Nanti kopernya biar bunda yang bawa.”

“iya pa, Bunda masak rendang  kesukaan papa”

“Oh ya? Kalo begitu ayo kita masuk!”

Aku melangkahkan kakiku sambil menggendong Farrel. Dia sesekali memainkan rambur kusutku.

“Pa, kita nanti liburan kemana?”

“Ke pantai?”

“Yaaah masa ke pantai lagi,” ujarnya tampak kecewa.

“Papa janji deh, besok Farrel sama Bunda, papa ajak ke rumah papa di Jakarta. Nanti kita ke ancol, emmm ke Dufan, pasti Farrel seneng.” Hiburku.

“Dufan yang kaya di tv itu pa?”

“Yap pintar sekali anak papa!”

Aku janji, aku akan membawa keluargaku pindah ke Jakarta. Kita akan jadi keluarga utuh di sana. Dan semoga tak ada lagi yang dapat memisahkan keluarga ini.

Aku ingin hidup bersama mereka. Hidup sendiri bukanlah pilihan yang baik. Sekaya kaya apapun diriku, tanpa ada orang-orang yang aku sayangi di sisiku, semua akan percuma.

Dan aku berniat untuk tidak lagi menulis scenario sinetron, aku lebih ingin menulis scenario film. Dengan itu nantinya aku bisa lebih banyak meluangkan waktuku bersama keluargaku tercinta.

Semoga semua do’aku pada hari yang suci di kabulkan . Amiin.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -