(Karya: Ma'arif Suryadi)

Bukan sebuah kebetulan aku dan beberapa orang mengelilingi meja panjang di cafĂ© ini. Kami bersembilan adalah mahasiswa semester pertama yang bergabung dalam  anggota baru klub pecinta sastra. Dan ada satu pemandu senior kami di salah satu ujung meja. Malam ini adalah pertemuan kami yang ketiga. Sesuai yang aku ingat, pertemuan kali ini akan membahas tentang seseorang yang selalu kami  teladani, entah itu pahlawan, tokoh inspirasi, keluarga, artis, atau siapapun.

Sang pemandu menjelaskan pada kami. Nantinya kami akan di panggil satu-satu untuk berdiri membacakan atau menceritakan tokoh yang telah kami persiapkan sebelumnya. Dan sialnya, aku belum mempersiapkan apa-apa. Ditertawakan? Aku sudah mengira, dan aku sudah sering ditertawakan. Mungkin akulah satu di antara sembilan dari kami, yang tak dianggap keberadaannya. Tapi itu tak masalah, aku lebih memilih diam dan mendengarkan cerita atau apapun yang telah dan akan diceritakan. Dan aku berfikir, kenapa aku harus bertanya jika dengan diam saja aku bisa tau banyak hal?

Satu jam berlalu, satu persatu dari kami membacakan tokoh kebanggan kami masing-masing. Semua tokoh yang mereka sampaikan terdengar menarik. Mulai dari Thomas Alfa Edison, R.A. Kartini, Ir. Soekarno, Einstein, John F. Kennedy. Dan dua tokoh yang disampaikan setelahnya adalah yang membuat ruangan menjadi terasa  panas. Dua orang bernama Rifa’I dan Carlos yang terlihat tidak bersahabat mengunggulkan tokohnya masing-masing. Rifa’I dengan Nabi Muhammad dan Carlos dengan Yesus Kristus.

Bukan hanya terasa panas, kedua orang itu membuat suasana mencengkam. Mereka seolah menjadikan dirinyalah yang paling benar dan yang lain salah. Memang tokoh yang Rifa’I dan Carlos adalah dua tokoh yang sangat besar. Namun entah kenapa aku merasa mereka berdua tidak tulus menyampaikan. Mereka hanya ingin memperlihatkan kebesaran tokohnya masing-masing. Dan menurutku itu salah. Entahlah, aku memang tidak tahu. Tapi aku sangat tahu tentang sebuah ketulusan.

Sampailah pada orang kedelapan yang menyampaikan tokohnya. Seorang gadis cantik yang sejak pertama bertemu selalu aku perhatikan.

“Begitulah J.K Rowling. Seorang penulis pertama di dunia yang menjadi milyader atas keahlian menulisnya. Walaupun banyak kritusku yang menilai negatif atas karya Novel Harry Potternya karena dianggap karya sastra yang tidak mempedulikan keindahan kalimat, namun bagiku dialah pahlawanku. Aku banyak belajar darinya. Dan menurutku, imajinasi adalah segala-galanya. Apa ada pertanyaan?”

Masing-masing dari kami saling menatap, tidak ada yang kelihatannya ingin bertanya.

Saatnya giliranku. Akulah orang terakhir yang akan membacakan tokohku. Aku berdiri dari dudukkku dengan ragu-ragu. Entah kenapa, semua orang menatapku layaknya aku orang yang begitu bodoh.

“Tokohku,” aku memulainya,”Namanya Nobby,”

Semuanya menatapku dengan aneh, dan beberapa menertawakanku. Namun aku tak peduli, aku terus meneruskannya.

“Dia adalah seorang anak laki-laki yang tidak diketahui darimana ia berasal. Kira-kira saat ia berumur 4 tahun, ia ditemukan oleh Pamanku, Rama. Dia seorang kondektur Bus Trans Jakarta. Di sebuah Mall ibukota, dari sanalah semua cerita berasal…”



14 tahun yang lalu di sebuah Mall yang sangat ramai. Seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur  4 tahun terlihat kebingugan. Iya tadinya pergi bersama pengasuhnya, namun ia tak ingat bagaimana ia bisa terpisah dari pengasuhnya tersebut. Ia telah berkeliling ke seluruh Mall, namun ia tak menemukan pengasuhnya. Kemudiania berfikir, mungkin pengasuhnya ada di luar gedung.

Ia keluar dari Mall tersebut. Satu yang menarik, ia memeluk boneka Doraemon yang terlihat masih baru. Ia pun menyusuri jalanan, berharap ia menemukan orang yang ia cari. Satu jama, dua jam, tiga jam telah berlalu. Kini hari telah senja,  ia telah jauh dari Mall. Ia merasa lapar, karena itu ia menghampiri seorang pemuda yang tengah duduk di Halte Bus. Pemuda itu sedang membuka bungkus roti.

Anak itu duduk tepat disamping sang Pemuda. Ia mengira, seorang pemuda pasti akan kasihan padanya.

“Hai nak, kamu lagi ngapain disini?” Tanya pemuda itu yang sejak tadi merasa terus dipandangi aoleh anak disebelahnya.

Sang anak menggelengkan kepalanya pelan.

“Mama papa kamu dimana?”

Sang anak kembali menggeleng. Itu membuat sang pemuda bingung.

Sang pemuda melihati anak itu dari pakaian yang dikenakan, jam tangan kecil, dan sebuah boneka baru. Ia pikir, anak itu berasal dari keluarga kaya.

“Kamu mau roti?” sang pemuda menawarkan pada sang anak.

Anak itu mengangguk. Dan langsung mengambil roti itu. Ia memakannya dengan lahap.

“Kamu tersesat ya?” Tanya sang pemuda yang kini mengira anak disampingnya tak bia bicara. Sang pemuda semakin iba pada anak itu.

Anak itu mengangguk.

“Nama kamu siapa?”

Anak itu menggeleng.

Sang pemuda memutar otaknya, mencari akal bagaimana sang anak dapat mengatakan namanya. Ia sempat berfikir untuk memberinya kertas san pulpen, namun tak mungkin anak sekecil dia bisa menulis.

“Pak  Billy…” sang pemuda memanggil seorang penjaga halte.

“Hei Pak Rama, tumben jam segini belum pulang” sapa Billy dengan ramah. Ia menghampiri Rama,”Keponakan?”

“Bukan! Tadi dia kesini. Kayaknya dia hilang atau tersesat. Boleh saya minta bantuan untuk menjaga anak ini?”

Billy tampak bingung, ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Begini pak, lebih baik Bapak antarkan ia ke kantor polisi. Dia akan aman disina.” Saran Billy.

“Anak sekecil ini ditinggal di kantor polisi? Aku tak yakin mereka akan merawatnya,” Rama khawatir.

“Atau anda bisa bawa dia ke panti asuhan. Dan anda bisa melapor ke kantor polisi. Dia akan dirawat disana, sampai ia ditemukan oleh orang tuanya. Dan saya bisa membantu,”

Rama tidak setuju dengan semua saran dari Billy. Ia merasa tak tega dengan anak itu.

“Mungkin lebih baik dia tinggal bersama saya, dan saya akan bantu ia menemukan kedua orang tuanya,”

“Itu hal yang mulai,” tukas Billy senang.

Sang anak mendengarnya, ia tampak senang.

“Kau akan tinggal bersama… panggil aku Om Rama. Kamu akan baik-baik saya nantinya,”

Rama akhirnya mengajak anak itu ke rumahnya. Rumahnya tak begitu jauh dari halte tersebut. Rama hanya butuh waktu lima belas menit dengan berjalan kaki untuk sampai di rumah.

“Kamarnya hanya satu. Dan Om tinggal sendirian disini. Jadi kamu tidur bareng Om. Apa kamu mau?”

Sang anak kembali menganggung. Kemudian, ia mengikuti Rama masuk ke kamar. Ia langsung berbaring di kasur.

“Kamu cape ya?” Rama menghampiri anak itu. Ia pun ikut berbaring, lalu memeluk anak yang tampak sangat ketakutan itu.

“Kamu suka Doraemon ya?”

Anak itu itu mengangguk.

“Kalu Om namain Nobby mau enggak?”

Anak itu kembali mengangguk. Ada sedikit senyum dari wajahnya. Sekarang, anak itu bernama Nobby.

Keesokan harinya, Rama kembali membawa Nobby ke Halte Bus. Ia menawarkan Nobby pada orang-orang kepercayaannya  disekitar Halte untuk diasuh sementara. Penjual kopi panas, pedangang Buku dekat Halte, dan pegawai toko bunga. Namun semuanya menolak, dan mereka semua menyarankan agar Nobby di bawa ke kantor polisi.

“Sepertinya ia sangat suka digendong,” Billy sang penjaga Halte menghampiri Rama.

“Nama Nobby, aku beri nama dia dari boneka Doraemon yang kemarin ia bawa,”

“Nama yang lucu,”puji Billy,”Apa kamu sudah bawa dia ke kantor polisi?”

“Aku akan berangkat kesana sekarang,”

Setelah itu Rama membawa Nobby ke kantor polisi. Rama agak sedikit lega, karena kasus Nobby akan segera di proses. Namun ada yang mengganjal dihatinya, ia rasa Nobby tidak senang ia dilaporkan ke polisi. Sungguh aneh.

Hari berikutnya Rama memasang selebaran tentang orang hilang di beberapa tempat yang ramai. Dalam selebaran tersebut ada foto Rama lengkap dengan ciri-ciri saat ia pertama kali ia temukan. Ia berharap mudah-mudahan cara itu berhasil.

Hari berganti, dan kini sudah satu minggu Rama menjaga Nobby. Selama itu tak ada kemajuan dari usahanya menemukan orang tua Nobby. Dan sampai saat ini pun, Nobby sama sekali belum berbicara. Selama itu juga, Nobby kecil harus Rama mandikan, harus ia suap jika makan, harus ia rangkul jika tidur. Dan Nobby terlihat senang ketika Rama membacakan dongen sebelum Nobby tidur.

Waktu senja setelah delapan hari Nobby bersamanaya, Rama pulang dari kantor. Nobby telah menungguinya di pagar rumahnya. Itu yang dilakuakan Nobby dua hari belakangan ini.

“Hari ini Om enggak beli Burger, om beliin Kentucky. Nih!” Rama menawari Nobby yang tengah menonton tv.

“Aku nggak suka kentaki,” jawab Nobby. Rama kaget mendengarnya. Selama ini Nobby tidak pernah bicara, dan bahkan Rama telah mengira Nobby bisu.

“Jadi kamu bisa bicara?” seru Rama.

Nobby mengangguk, ia tampak ketakutan.

“Jelasin ke On kenapa kamu melakuan ini. JELASIN!” bentak Rama.

Nobby kini menangis.

“Nobby nggak mau pulang. Nobby takut pulang ke rumah. Ayah sama bunda di luar negeri. Nobby tinggal sama pengasuh, dia jahat sama Nobby. Nobby takut…”

Perkataan Nobby terpotong oleh suara dering ponsel milik Rama.

“Hallo, benar ini dengan Pak Rama?”

“Iya ini darimana ya?”

“Ini dari kantor kepolisian. Kami ingin menyampaikan soal laporan bapak tentang anak hilang itu. Pihak kami ingin bapak  untuk datang ke kantor besok,”

“Untuk apa ya pak?”

“Untuk penelusuran lebih lanjut tentang anak itu,”

Rama memandang Nobby yang kini sedang menangis ketakutan.

“Terima kasih pak, tapi anak itu kemarin kabur saat saya pergi bekerja. Jadi saya cabut laporan saya.”

Tidak lama, Rama berhasil meyakinkan polisi kalau Nobby sudah tidak bersamanya. Dengan itu, urusan Nobby tidak akan ditelusuri lagi. Ia sudah memutuskan, Nobby akan tinggal bersama dengannya untuk selamanya.

“Nobby sudah jangan nangis, Om tau perasaan kamu. Apa kamu mau tinggal sama Om untuk seterusnya?”

Nobby mengangguk.

Rama memeluk Nobby erat-erat,”Sekarang dan seterusnya nama kamu Nobby, kamu nggak perlu nyebutin nama kamu yang asli. Om janji akan rawat Nobby dangan baik,”

Sejak saat itu Nobby jadi ceria, ia tak lagi merenung. Ia kini hidup layaknya anak kecil seusianya. Dan hidup Rama tak lagi sepi seperti dulu. Ia kini menghabiskan waktu sehabis petangnya bersama Nobby. Makan bersama, nonton tv bersama, dan tidur bersama. Nobby sudah sudah seperti anaknya sendiri, dan Rama sangat sayang padanya.

Saat hari-hari libur, Rama mengajari Nobby main sepak bola. Kadang ia mengajaknya liburan ke suatu tempat bermain. Kadang pula berkeliling kota sekitar komplek. Dan semua orang kini sudah mengenal Nobby sebagai keponakan Rama.

Di suatu hari ketika sudah tiga Bulan Nobby tinggal bersama Rama…

Nobby mengantar Rama yang akan bekerja sampai pagar rumah.

“Nobby pengen ikut..” pinta Nobby.

“Om itu kondektur Bus, nggak mungkin kamu ikut paman naik Bus,” tolak Rama secara halus.

“Tapi Nobby pengen anter Om sampe Halte. Nobby bisa kok pulang sendiri.”

“Emmm oke, tapi kejar om sampe halte!”

Rama pun berlari kencang menyusuri jalan.

“Om tungguin Nobby!” serunya terengah-engah kelelahan.

“Ayo sini… hahaha…”

Itu adalah suara tawa Rama paling keras seumur hidupnya. Ia begitu bahagia memiliki seorang Nobby. Yah! Sangat bahagia.

Sore harinya Nobby menunggu kepulangan Rama di halte Bus. Rama kaget melihat Nobby.

“Nobby… kamu seharian disini?”

“Dia baru lima menit menunggu…” Billy sang penjaga halte menjawab.

Nobby langsung merangkul Rama.

“Dia anak yang manja,” ucap Rama pada Billy.

“Lebih baik seperti itu, dia kelihatan baik.”

Rama senang mendengarnya.

“Ayo kita pulang, kita akan bermain-main di jalan nantinya,”

Rama menggendong Nobby di pundaknya. Ia berjalan meninggalkan halte ke rumahnya. Beberapa orang menyapanya, seperti penjual kopi panas, pedagang buku, dan pegawai toko bunga. Mereka semua tampak senang melihat tingkah laku Rama dan Nobby.

Peristiwa itu berulang. Nobby mengantar rama bekerja sampai halte, dan ia menunggui Rama sampai pulang di tempat yang sama. Semakin lama orang-orang di sekitar halte semakin ramah dengan Nobby. Kadang Nobby mendapat es krim gratis dari seseorang, kadang coklat, es campur, dan bahkan uang untuk jajan. Dia menjadi anak yang banyak disukai orang karena kepolosannya.

Suatu malam, setelah lebih dari satu tahun Nobby tinggal bersama Rama…

Seperti malam-malam sebelumnya, Rama selalu merangkul Nobby ketika tidur setelah membacakan dongeng.

“Om, lampu ajaib punya Aladdin itu ada beneran enggak sih?”

“Yang enggak lah Nak, itu kan cuma dongeng,”

“Lampu ajaib itu mirip ya sama Kantong ajaib punya doraemon?”

“Udah ya tidur. Besok malam paman bacain lagi kisah saribu satu malam-nya, Ali Baba juga sama kerennya kaya Aladdin,”

“Wah Nobby udah enggak sabar…”

“Makanya sekarang tidur dulu..”

“Makasih ya Om masih sayang sama Nobby. Nobby seneng deh!”

“Kok ngomongnya gitu, sampai kapanpun Om bakal sayang sama Nobby…”

Tidak sampai kapanpun…

Paginya Nobby mengantar Rama sampai halte seperti biasa.

“Hari ini jangan kerja ya Om..,”

“Kenapa, kamu enggak sakit kan? Kamu baik-baik aja kan?”

“Tapi om…”

“Kalo om enggak kerja, besok Nobby makan apa?”

Nobby seperti ingin menangis, ia memeluk Rama erat-erat. Lebih lama dari biasanya.

Dan Rama pun berangkat. Setelah itu Nobby pulang ke Rumah. Dan sore harinya ia kembali menunggu Rama di halte.

Adzan maghrib telah berkumandang, namun Rama tak kunjung turun dari Bus. Nobby masih menunggu dengan sabar. Satu jam berlalu, dan adzan isya tlah berlalu. Rama masih belum muncul dari Bus.

“Nobby…” seorang penjual kopi panas yang setiap hari menyapa Nobby mendekat.

Sang penjual kopi itu terlihat sedih.

“Ada apa Om?” tanya Nobby.

“Kamu sudah tidak perlu menunggu Om Rama lagi. Dia sudah pergi ke tempat yang tidak bisa Nobby temukan. Dia sudah tidak akan lagi pulang ke rumah. Jadi sekarang Nobby pulang. Besok Om carikan Nobby tempat yang baru,”

“Memangnya Om Rama kenama, Om?” Nobby mulai ketakutan.

“Dia kecelakan. Bus yang ia tumpangi terbakar di jalan. Dia juga ikut terbakar….”

“ENGGAK MUNGKIN, Om Rama enggak mungkin ninggalin Nobby. Dia sudah janji bakal sama Nobby buat seterusnya,” teriak Nobby. Ia mulai menangis.

Nobby lari sekencang-kencangnya. Ia pulang ke rumah.

“Om Rama… Om Rama…” ia memanggil-manggil Rama dalam rumah. Namun tak ada jawaban.

Ternyata hari itu adalah hari terkahir Nobby melihat Rama. Ia meninggalkan rumah itu pagi harinya. Ia duduk seharian di halte. Penjaga Halte yang iba padanya memutuskan untuk menaruh Nobby ke panti asuhan.

Namun tanpa di duga, setiap sore Nobby mengunjungi Halte. Duduk di tempat seperti biasa ia menunggu Rama pulang. Satu tahun, dua tahun pun berlalu. Nobby tetap mengunjungi halte setiap sorenya. Ia selalu berharap, Om Rama akan keluar dari bus dan memeluknya kembali.

Tiga tahun berlalu, seorang reporter meliput Nobby. Sang Reporter menamai artikelnya: Seorang Anak Menunggu Pamannya Yang Telah Tiada. Mulai saat itu banyak sekali orang yang iba padanya. Dan beberapa minggu kemudian, sepasang suami istri mengunjungi Nobby. Mereka adalah kedua orang tua Nobby.



“Aku tak ingat betul bagaimana wajah Pamanku yang aku panggil Om Rama. Yah akulah Nobby itu yang tak pernah menyebut nama asliku pada sang Paman,”

Beberapa orang melihat padaku dengan serius. Mata mereka semua terlihat berkaca-kaca. Itu adalah pandangan mereka padaku yang lain dari sebelumnya, lain dari sebelum aku menceritakan kisahku waktu kecil.

“Namaku Surya, untuk kalian yang belum tau namaku, dan aku akan selalu menjadikan Nobby kecil sebagai Tokoh inspirasiku. Darinya aku tahu arti sebuah kebahagian yang sejati. Kebahagian bukanlah seberapa banyak keinginan kita yang tercapai, tapi kebahagiaan adalah saat kita merasakan kasih sayang yang sesungguhnya. Nobby kecil mengajarkanku arti sebuah ketulusan, kesetiaan, dan penantian. Sebuah semangat hidup yang tak bisa direkam oleh alat secanggih apapun. Emmmm… dan apakah ada yang ingin bertanya?”

Dan serentak semua orang dalam klub itu mengangkat tangannya, begitu juga sang pemandu. Itu membuat aku bahagia.

“Maaf, kalian bisa turunkan tangan kalian. Aku tak mungkin menjawab satu-persatu dari pertanyaan kalain. Tapi ketahuilah, bahwa semua pertanyaan belum tentu ada jawabannya. Tapi bolehkan aku menanggapi sedikit dari apa yang kalian semua ceritakan tadi,”

Dan serentak semuanya menganggukan kepala.

“Untuk Rifa’I dan Carlos, maaf jika aku lancang. Kita semua disini menyadari bahwa tidak satu hal pun yang lebih peting dari semuanya kecuali Tuhan. Aku sering mencoba memahami Tuhan, aku cari tahu, namun aku tidak berhasil. Aku mencoba bertanya tentang Tuhan, tapi aku tak menemukan jawabannya. Hingga aku ingat Nobby kecil, dan sat itulah aku menyadari… Dalam wajah orang-orang yang menyayangiku, aku melihat kasih-Nya. Dan dalam hari-hari yang aku jalani, aku menemukan Anugerah-Nya. Melalui orang yang paling dekat denganku, aku menemukan kesetiaannya. Dan sebuah kesetian yang tak ada habisnya sampai selama-lamanya…”

Dan sesaat kemudian, semua tepuk tangan dipersembahkan untukku.

Nobby kecil, sampai kapanpun engkau akan selalu jadi pahlawanku.

***

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © DreaMedia : Bingkai Harapan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -